Hidayatullah.com–Pemerintah sementara Mesir mencabut sertifikat khotbah milik puluhan ribu ulama, pekan ini. Pelucutan tersebut merupakan serangan paling agresif terhadap kebebasan beragama di Mesir sejak penggulingan Presiden Mohammad Mursy sepuluh pekan lalu.
Mohamed Mukhtar Jumaa, Menteri Wakaf yang mengurus masalah keislaman, Senin lalu mengumumkan 40 ribu ulama yang akan berkhotbah pada salat Jumat mesti mengajukan permohonan ulang untuk mendapat sertifikat.
Ulama yang tak mengantongi sertifikasi dari Universitas Al Azhar di Kairo tak diperbolehkan berkhotbah. Universitas yang sudah menjadi lembaga negara resmi itu adalah salah satu sekolah agama tertua sedunia, juga pusat pendidikan Islam beraliran Sunni.
Dengan langkah ini, pemerintah Mesir menempatkan Al Azhar yang moderat dan bebas politik sebagai penyetir dakwah keagamaan. Ini adalah bagian dari upaya agresif pemerintah dalam mengontrol pergerakan Ikhwanul Muslimin, kelompok yang menyokong kemenangan Mursy lebih dari setahun lalu. Ia diangkat sebagai Presiden melalui pemilihan secara bebas untuk pertama kalinya di Mesir.
Meski demikian, kebijakan dari pemerintah interim Mesir—yang disokong militer—menandai kemunduran tajam ke arah pengekangan religius. Pengekangan semacam ini merupakan salah satu ciri khas diktator militer yang bertahan berpuluh-puluh tahun di Mesir, sebelum revolusi tahun 2011 menggulingkan Presiden Mesir saat itu, Husni Mubarak.
Pemerintah Mesir juga telah melakukan sejumlah tindakan keras lain. Sebelumnya, pemerintah menangkap pendukung Mursy. Pemerintah interim juga memperbarui pemantauan khotbah di sejumlah masjid serta mempertimbangkan larangan keras bagi partai politik religius dan kelompok-kelompok lain, termasuk Ikhwanul Muslimin.
Pada saat yang sama, pemerintah Mesir melancarkan serangan militer di Semenanjung Sinai untuk menumpas ekstremis di kawasan itu. Selasa kemarin, pasukan tentara didukung helikopter tempur menyerang tempat yang diduga persembunyian milisi, kata seorang pejabat militer seperti dikutip Associated Press. Serangan menewaskan sembilan orang. Korban tewas bertambah sejak Sabtu menjadi 29 orang.
“Ini adalah upaya pemerintah untuk mendominasi sekaligus mengendalikan masjid. Tujuannya untuk mencegah penggunaan masjid sebagai tempat perekrutan dan mobilisasi kelompok Islam garis keras,” sahut Khalil Al Anani, pengamat politik Islam dan ilmuwan senior di Middle East Institute, Washington.
“Ini merupakan salah satu gelombang nasionalisasi, depolitisasi, dan pengawasan masjid terbesar sejak kebijakan Jamal Abdul Nasser [Presiden kedua Mesir] pada 1950-an dan 1960-an,” ujarnya dikutip indo.wsj.com
Jumaa, menteri keislaman Mesir, menyebut aturan baru ini sebagai upaya “modernisasi” pengayaan keagamaan di Mesir sekaligus “membuat masjid penuh, bukan kosong.”
Sebelumnya, sekitar 55.000 da’i yang tidak memiliki izin akan dilarang berceramah di masjid-masjid Mesir, kata Kementerian Urusan Agama dan Wakaf hari Selasa (10/9/2013) dilansir Al-Arabiya.
Tindakan itu merupakan upaya terbaru yang dilakukan oleh pemerintah Mesir hasil kudeta dalam melumpuhkan para simpatisan pendukung mantan presiden Muhammad Mursy.*