Hidayatullah.com–Melejitnya kurs dolar Amerika Serikat (USD) berimbas pada kondisi ekonomi sejumlah negara di kawasan Timur Tengah. Para pelajar Indonesia di Sudan dan Yaman pun terkena dampaknya.
Fathi Farhat, mahasiswa Ma’had Lugho Arobiyyah Wa Dirosatil Islamiyah Li Annatiqin Ghoiru Arob, Hajj Yusuf, Khartoum, Sudan misalnya, mengaku sangat terganggu dengan naiknya kurs dolar.
“Jangankan buat bayar sakan (rumah huni), makan aja susah. Semua (harga) naik. Kami dikirim (uang) orangtua Rp 1 juta, di sini cuman dapat USD 81 saja. Innalillah. Rp 1 juta tuh biasanya bisa buat hidup sebulan, sekarang cuman bisa buat setengah bulan,” ujar Farhat langsung dari Sudan kepada Hidayatullah.com di Jakarta, Selasa, 21 Shafar 1435 H (24/12/2013) via sambungan internet.
Farhat menceritakan, sejak kurs dolar terhadap mata uang Sudan Pound (SDG) naik beberapa waktu lalu, harga kebutuhan barang dan jasa juga naik. Mulai makanan hingga transportasi.
“Ayam, yang dulunya di suq (pasar) 1 kg seharga SDG 20 sekarang SDG 35 per kilo. Biasanya salatoh -sayuran campuran- kita beli SDG 5 bisa, sekarang SDG 5 cuman dapat bawang merah 4 buah. Angkutan umum dari SDG 2 naik SDG 3,” tutur mahasiswa semester 3 yang menetap di Syar Nil Hajj Yusuf Wahidah 14, Syari Wahid ini.
Keluhan senada dilontarkan Faiz Ahmad Kholis, mahasiswa semester 1 Jurusan Syari’ah di Internasional University of Africa. Yang paling dia rasakan adalah biaya transportasi.
“Terutama ongkos bis jadi naik 100 persen. (Akibatnya) sering ‘berantem’ sama kernet. Kalau barang rata-rata dua kali lipat termasuk barang pokok, kalau jasa 100 persen (naik) karena bensin mahal,” ungkap lajang asal Dumai, Kepulauan Riau ini.
Seperti diketahui, akhir November lalu, harga minyak di SPBU di Sudan naik menjadi SDG 20,8 (setara USD 4,7) dari SDG 12,5 (setara USD 2,83). Kenaikan ini menyusul pencabutan subsidi minyak oleh pemerintah Sudan yang dipimpin Presiden Omar al-Bashir.
Faiz menuturkan, situasi ekonomi di Sudan berdampak pada demo massal yang menelan korban jiwa beberapa bulan lalu.
“Sekarang 1 dolar sama dengan 8 pound Sudan. Awal ana (saya, Red) datang di tahun kemarin cuma 5,5 pound Sudan per 1 dolar,” jelas mahasiswa yang tinggal di Khartoum, Ibukota Sudan ini.
Imbas di Yaman
Jeritan nyaris sama terdengar dari negeri Yaman. Seperti yang dikeluhkan Muzhirul Haq, mahasiswa Al-Iman University, Sana’a kepada Hidayatullah.com, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar berimbas pada tabungannya yang bernilai lebih kecil dari biasanya. Walaupun sebenarnya, kata dia, kurs mata uang Yaman tidak melemah, tetap di angka 215 real Yaman per dolar AS.
“Kalau dulu kami ambil Rp 1 juta bisa dapat USD 100 atau 22 ribu real Yaman. Sekarang, Rp 1 juta (hanya dapat) 17 bahkan 16 real Yaman aja,” jelas mahasiswa jurusan hadits yang sudah sekitar 6 tahun menetap di sana.
“Artinya kalau kita ngambil uang sekarang jadi lebih sedikit. Yang kemarin-kemarin sejuta bisa dapat USD 100, sekarang gak bisa,” tambah Abunizar, rekan Muzhirul yang sudah berkeluarga.
Pelajar Indonesia lainnya, Abdul Mannan Hajar, mengakui keluhan rekan-rekannya. Kenaikan kurs dolar atas rupiah sangat berimbas pada pengeluaran Mannan.
“Karena kalau narik uang via atm, otomatis dia kurskan dulu (dari rupiah) ke dolar, abis itu ke real Yaman. Yang biasanya (tabungan) Rp 1 juta bisa narik 20 ribu real Yaman, sekarang hanya 16 ribu, bahkan 15 ribu atau 14 ribu,” jelasnya.
“Sungguh sangat menyiksa, apalagi sebagai seorang mahasiswa,” lanjut pria asli Makassar, Sulawesi Selatan ini.
Akhir 2013 ini, mata uang rupiah anjlok mencapai angka di atas Rp 12.000 per dolar AS.*