Hidayatullah.com—Pengadilan in absentia terhadap 4 anggota Hizbullah tersangka pembunuh mantan perdana menteri Libanon Rafik Hariri tahun 2005 dimulai di Pengadilan Kejahatan Internasional di Den Haag.
Pada 14 Februari 2005 sebuah ledakan di daerah pesisir menewaskan 22 orang termasuk Hariri dan melukai 226 orang lainnya. Peristiwa itu mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat tribunal khusus Libanon pada tahun 2007.
Meskipun awalnya serangan itu dituduhkan kepada para jenderal Libanon yang pro-Suriah, pengadilan pada tahun 2011 mengeluarkan surat perintah penangkapan atas Mustafa Badreddine (52), Salim Ayyash (50), Hussein Oneissi (39) dan Assad Sabra (37). Keempat orang itu adalah anggota organisasi teroris Syiah Libanon, Hizbullah.
Tersangka kelima Hassan Habib Merhi (48) baru dijadikan terdakwa tahun lalu. Dia kemungkinan tidak akan ikut diadili pada persidangan di Den Haag kali ini.
Rafik Hariri yang merupakan seorang politisi Muslim Libanon yang disegani itu bermusuhan dengan rezim Syiah Damaskus pimpinan Presiden Bashar Al-Assad. Ketika itu pasukan Suriah menyerbu wilayah Libanon.
Koresponden Aljazeera di Den Haag melaporkan, terdapat maket besar tiruan daerah sekitar pesisir pantai di Beirut lokasi tempat terjadinya ledakan besar yang menewaskan Hariri dan puluhan orang serta melukai ratusan orang itu.
Oleh karena pengadilan tersebut dilakukan secara in absentia, hakim meminta pengadilan bersidang seakan-akan para terdakwa hadir dan mereka menyatakan diri tidak bersalah atas dakwaan-dakwaan jaksa.
Keempat teroris anggota Hizbullah itu dituntut dengan 9 dakwaan, mulai dari konspirasi melakukan tindak terorisme hingga pembunuhan dan percobaan pembunuhan.
Menurut pimpinan jaksa penuntut Norman Farrell dalam dakwaannya, Badreddine dan Ayyash melakukan pengintaian atas Rafik Hariri sebelum pemboman tersebut. Sedangkan Oneissi dan Sabra diduga sengaja mengaku sebagai pelaku peledakan guna mengalihkan perhatian penyelidik dari menemukan pelaku sebenarnya.
Dalam persidangan Farrell mengatakan, tidak seorang pun di Libanon yang tidak terpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dengan serangan tersebut.
“Serangan itu mendapat perhatian dari seluruh dunia. Dampaknya masih dirasakan lama setelah ledakan terjadi. Rakyat Libanon berhak akan adanya pengadilan ini,” kata Farrell
Hariri dua kali menjabat sebagai perdana menteri Libanon. Pertama dari tahun 1992 sampai 1998 dan kedua sejak 2000 sampai 20 Oktober 2004 setelah mengundurkan diri. Dia dibunuh dalam perjalanan pulang menuju rumahnya untuk makan siang. Pelaku bom bunuh diri meledakkan sebuah kendaraan van bermuatan 2,5 ton TNT ke arah konvoi kendaraan Hariri.
Sebuah rekaman video kemudian dikirim ke kantor Aljazeera di Beirut. Dalam video itu tampak seorang pria yang berbohong mengaku-aku sebagai pelaku bom bunuh diri atas nama kelompok fiktif “Kemenangan dan Jihad di Suriah Raya”, kata jaksa.
Keempat orang tersebut akan dibuktikan sebagai pelaku, setelah penyelidik melacak sinyal telepon genggam yang mereka gunakan pada sebelum, saat dan setelah serangan terjadi.*