Hidayatullah.com–Para pakar virus Ebola terkemuka dunia mendesak Amerika Serikat agar obat percobaan dan vaksinnya diberikan kepada orang-orang di Afrika Barat, di mana wabah penyakit mematikan itu saat ini menyebar di tiga negara dan menewaskan 900 orang.
Peter Piot, David Heymann dan Jeremy Farrar –semuanya profesor dan pakar terkemuka soal Ebola– mengatakan bahwa ada beberapa obat antiviral, antibodi monoclonal dan vaksin yang sedang dikaji dan kemungkinan menjadi obat melawan Ebola.
“Pemerintah negara-negara Afrika seharusnya diperbolehkan untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan tentang apakah produk-produk (obat) itu bisa digunakan atau tidak, misalnya untuk melindungi dan merawat pekerja kesehatan yang sangat beresiko tinggi terkena infeksi,” kata mereka dalam sebuah pernyataan bersama.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), satu-satunya lembaga internasional yang memiliki otoritas yang diperlukan untuk memperbolehkan perawatan dengan obat percobaan itu, seharusnya memainkan peran kepemimpinan yang lebih besar, kata mereka.
Dua pekerja medis Amerika yang tergabung dalam Smaritan’s Purse tertular virus Ebola di Liberia dan setelah dirawat dengan obat percobaan bernama ZMapp, dibuat oleh perusahaan biotek swasta asal San Diego Mapp Biopharmaceutical, kondisi mereka relatif membaik.
Direktur London School of Hygiene and Tropical Medicine Peter Piot, Direktur Chatam House Centre on Global Health Security David Heymann dan Direktur Welcome Trust Jeremy Farrar mempertanyakan mengapa Amerika Serikat tidak memberkan Afrika kesempatan yang sama untuk mendapatkan obat tersebut.
Mapp berdalih, ZMapp baru dinyatakan sebagai kandidat obat yang potensial untuk merawat pasien Ebola pada bulan Januari lalu, oleh karena itu saat ini jumlahnya sangat terbatas. Selain itu, menurut Mapp obat itu sangat sulit dibuat.
ZMapp merupakan serum yang terdiri dari tiga antibodi yang dihasilkan dari daun tembakau yang sudah dimodifikasi, yang mana tanaman itu perlu waktu berpekan-pekan untuk tumbuh.
Sementara itu jurubicara WHO di Jenewa kepada Reuters mengatakan bahwa lembaganya tidak akan memberikan rekomendasi untuk obat apapun yang belum melalui proses uji klinis dan belum mendapatkan lisensi sebagaimana mestinya, lansir Aljazeera rabu (6/8/2014).*