Hidayatullah.com–Ribuan warga sipil Iraq di Kota Fallujah dilaporkan sedang mengalami “sekarat karena kelaparan”, demikian menurut warga setempat.
Populasi kota tersebut diperkirakan antara 80.000 sampai 100.000 orang, yang kini tengah menderita kekurangan pangan, obat-obatan dan bahan bakar.
“Kami memberi bayi-bayi kami yang baru lahir dengan susu binatang (susu sapi),” kata Um Hussein, 59 tahun, seorang penduduk Fallujah. “Kami di dalam pengepungan. Tidak ada makanan dan obat-obatan yang dibawa ke dalam Fallujah. Kami telah menderita untuk waktu yang lama sekarang, dan tidak ada yang menunjukkan belas kasih terhadap para keluarga,” katanya kepada Aljzeera Rabu (30/03/2016).
Kota tersebut terletak di provinsi Anbar, 50 KM barat Baghdad, telah berada di bawah kendali ISIL sejak 2014 dan telah menjadi di bawah kepungan pasukan tentara Iraq dan milisi Syiah sejak peluncuran serangan militer untuk mengusir ISIL dari provinsi Anbar pada Juli lalu.
Provinsi Anbar mengambil sepertiga bagian dari wilayah Iraq dan dihuni terutama oleh Muslim Sunni.
Pada Desember 2012, sejumlah protes pecah di mayoritas Arab Sunni di Iraq setelah penangkapan penjaga dari (yang kemudian menjadi Menteri Keuangan) Rafi al-Essawi, seorang Sunni Arab yang berpengaruh, atas tuduhan terorisme.
Penangkapan tersebut dipandang Sunni Iraq sebagai contoh lain dari penargetan salah satu pemimpin mereka oleh Nouri al-Maliki yang kini menjadi perdana menteri. Sebuah protes terjadi di Ramadi, kota terbesar di Anbar, selama 13 bulan.
Para pengunjuk rasa menuntut adanya “konstitusi baru dan pembebasan ribuan warga Iraq yang ditahan tanpa pengadilan, khususnya para wanita, dan untuk menghentikan pasal ke empat dalam konstitusi khususnya” yang membahas semua masalah yang terkait dengan terorisme. Menurut pengunjuk rasa, hukum tersebut telah digunakan utamanya untuk menarget kaum Sunni.
Pada 30 Desember 2013, tim SWAT – resimen elit di militer Iraq, menyerbu kamp para pengunjuk rasa dan menyebabkan tewasnya 5 orang aktivis.
Segera setelah kejadian tersebut, pejuang suku bersenjata mengambil alih Ramadi dan Fallujah.
Pada Januari 2014, Fallujah menjadi kota Iraq pertama yang jatuh kepada ISIL.
Akhir tahun lalu, tentara Iraq, polisi dan milisi Syiah memberlakukan pengepungan-hampir-total di kota tersebut. Bagaimanapun, di sana masih ada beberapa rute terbuka yang mengijinkan pasokan makanan ke kota dan beberapa yang mengungsi dari Fallujah.
Begitu militer Iraq melancarkan serangan militer untuk merebut kembali Anbar pada Juli lalu, rute-rute yang diberikan menjadi tidak dapat diakses dan ditambah pengepungan yang menjadi semakin ketat, krisis kemanusiaan pun terjadi.
Rumah sakit-rumah sakit di Fallujah beroperasi dengan kapasitas minim karena kurangnya pasokan medis. Juga jumlah korban yang terus meningkat karena pemboman terus menerus yang dilakukan oleh pasukan pemerintah.
Pada hari Rabu (30/4/2016), sumber medis dari rumah sakit umum Fallujah mengatakan pasukan Iraq melakukan pemboman di atas lingkungan yang berbeda di pusat Fallujah, menewaskan seorang wanita dan melukai 7 lainnya, termasuk seorang bayi.
Harga makanan di pasar-pasar Fallujah juga meningkat dan tukang roti mulai menjatah pembagian roti. Penduduk setempat mengatakan bahan bakar menjadi barang langka selama bulan-bulan musim dingin di mana suhu udara turun hingga ke titik beku.
“Orang dewasa bertahan dengan (memakan) kurma, namun kami tidak bisa hanya memberi kurma kepada anak-anak,” kata salah satu penduduk kepada Aljazeera.
“Orang-orang sudah hilang rasa empatinya kepada kami. Kami dibiarkan mati perlahan,” kata Um Hussein. “Anak-anak di kota ini menangis kelaparan. Apa yang harus kami katakan pada mereka?”
Dalam upaya untuk membawa pasokan makanan ke kota tersebut, 28 Februari lalu ISIL menyerang gudang pemerintah di Abu Ghraib, di mana beras tersimpan di sana.
Pejuang ISIL berhasil mengambil sejumlah truk yang penuh dengan gandum dan berhasil membawanya ke dalam Falluja.
Namun, situasi kemanusiaan yang memburuk di kota tersebut tidak memicu aksi tindakan apapun dari pemerintah, menurut Issa Sayyar Al Isawi, gubernur Fallujah.
“Warga Fallujah kekurangan pasokan makanan, para lansia tidak mendapatkan layanan kesehatan dan beberapa kasus kelaparan terlihat di kota tersebut,” kata al-Isawi. Menurutnya, “kota (Fallujah) menjadi saksi kasus bunuh diri karena kelaparan, di antaranya seorang ibu dengan ketiga anaknya.”
Al-Isawi menyoroti pentingnya tindakan segera yang harus diambil oleh pasukan koalisi Internasional dan pemerintah Iraq untuk mengusir ISIL. “Warga Fallujah tertinggal sendiri di bawah belas kasih ISIL atau mati karena kelaparan.”
Menyusul berita krisis kemanusiaan di Fallujah, sejumlah aktivis meluncurkan kampanye media sosial dengan hashtag (#fallouja is dying of hunger), yang bertujuan untuk mengekspos bencana kemanusiaan di kota tersebut.
Mohammed Al Jumaily, seorang aktivis kampanye tersebut yang asalnya di Fallujah namun berbasis di Istanbul mengatakan kepada Al Jazeera bahwa “situasi di dalam kota semakin buruk setiap harinya. Warga mulai menanam sayuran di halaman belakang mereka. Namun itu tidak cukup membantu.”
Al Jumaily menuduh beberapa partai politik Iraq “mengambil keuntungan dari krisis saat ini dan mereka meminta pemerintah untuk meluncurkan serangan di Fallujah ketimbang meminta untuk membuka koridor kemanusiaan”. Menurut Al Jumaily, setiap serangan militer hanya akan menyebabkan bencana tambahan di dalam kota tersebut.
Sementara itu, Um Hussein, yang menyaksikan peperangan berulang di kota tersebut sejak 2003, mengatakan bahwa saat ini “adalah yang paling sulit. Orang-orang terperangkap di dalam (kota) tanpa adanya rute yang aman untuk melarikan diri. ISIL mengontrol kota dari dalam dan pasukan pemerintah serta milisi Mobilisasi dari luar. Tidak ada yang diizinkan untuk pergi.”*/Karina Chaffinch