Hidayatullah.com—Jerman, Prancis dan Italia sepakat tidak akan merundingkan hubungan masa depan dengan Inggris, kecuali kerajaan itu telah secara formal memasukkan permohonannya keluar dari keanggotaan Uni Eropa.
“Tidak akan ada pembicaraan informal maupun formal terkait keluarnya Inggris sampai ada aplikasi yang diajukan untuk meninggalkan Uni Eropa,” kata Kanselir Jerman Angela Merkel seperti dikutip Deutsche Welle Senin (27/6/2016).
Sebagaimana diketahui, Perdana Menteri Inggris David Cameron, yang ingin Inggris tetap menjadi bagian dari UE, hari Jumat (24/6/2016) mengumumkan akan mengundurkan diri, menyusul referendum tanggal 23 yang menghasilkan keinginan rakyat agar Inggris keluar dari blok kerja sama ekonomi terbesar di dunia itu.
Baca berita sebelumnya: Rakyat Memilih Inggris Keluar dari Uni Eropa, PM Cameron Segera Mundur
Pascareferendum Brexit Kabinet Inggris Tidak Berubah
Serangan Rasis Marak Pascareferendum Brexit
Hari Senin (27/6/2016) Cameron di hadapan para anggota parlemen Inggris mengatakan bahwa Inggris tidak akan mengimplementasikan “Article 50” pada masa pemerintahannya yang tersisa, sebab menurutnya negara harus memastikan dulu hubungan seperti apa yang diinginkan dengan Uni Eropa.
Cameron mengatakan akan pada bulan Oktober mendatang dan menyerahkan pemerintahan kepada penggantinya.
Menteri Keuangan Inggris George Osborne mengatakan bahwa Article 50 harus hanya boleh diimplementasikan apabila Kerajaan Inggris sudah pasti dan memiliki pandangan jelas akan seperti apa hubungan negara itu dengan negara-negara di daratan benua Eropa.
Saat ini, para politisi Inggris masih memperdebatkan hal tersebut.
Apa itu “Article 50”?
Article 50 of the Lisbon Treaty adalah pasal yang menyebutkan soal keluarnya sebuah negara dari keanggotaan Uni Eropa. Pada ayat pertama pasal itu disebutkan bahwa negara yang bersangkutan boleh keluar dari keanggotaan jika konstitusinya menghendaki demikian. Dan di ayat kedua disebutkan bahwa untuk bisa keluar dari Uni Eropa, negara bersangkutan harus memasukkan permohonan resmi terlebih dahulu. Nantinya permohanan itu akan digodok lebih lanjut dalam perundingan-perundingan yang mengkaji semua aspek yang muncul akibat keluarnya negara tersebut dari Uni Eropa.
Negara bersangkutan tidak hanya harus berunding dengan Uni Eropa sebagai satu lembaga, tetapi juga harus melakukan pembicaraan bilateral dengan masing-masing anggota lain yang memiliki “urusan” dengannya. Singkat kata, dibutuhkan waktu yang lama dan pembicaraan dan negosiasi tidak sedikit dan rumit sebelum sebuah negara bisa benar-benar keluar dari persekutuan Uni Eropa.*