Hidayatullah.com–Para penyelidik hak asasi manusia PBB meminta ‘akses penuh dan tak terbatas’ di Myanmar untuk menyelidiki krisis kamanusiaan yang menimpa warga minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
“Sangat penting untuk melihat dengan mata kepala sendiri dugaan terjadinya pelanggaran HAM (di Rakhine),” kata Marzuki Darusman, ketua tim pencari fakta PBB saat berbicara di forum Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, hari Selasa (19/09/2017) dikutip BBC.
“Terjadi krisis kamanusiaan yang sangat serius yang memerlukan perhatian sesegera mungkin,” tambahnya.
Dewan HAM PBB membentuk tim pencari fakta Maret lalu untuk menyelidiki kamungkinan pelanggaran HAM di seluruh Myanmar, dengan fokus dugaan kejahatan terhadap kamanusiaan yang menimpa warga minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Tekanan para penyelidik PBB dikeluarkan hanya beberapa jam setelah pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, memberikan pidato nasional yang pertama sejak krisis kamanusiaan di negaranya pecah pada akhir Agustus.
Baca: PBB: Tentara Myanmar Lakukan Pembunuhan dan Perkosaan Secara Massal Etnis Rohingya
Dalam pidato ini Aung San Suu Kyi mempersilakan para pemantau internasional untuk datang ke Myanmar dan melihat sendiri situasi di negaranya. Namun tak lama kamudian seruan tersebut ‘dibalikkan’ oleh duta besar Myanmar untuk PBB, Htin Lynn.
“Kami meyakini bahwa misi (tim pencari fakta PBB) tidak membantu mengatasi persoalan yang terjadi di Rakhine,” kata Htin Lynn.
‘Demi kebaikan Myanmar sendiri’
Marzuki Darusman mengatakan tekanan kepada Myanmar untuk mengizinkan masuknya tim penyelidik PBB perlu terus dilakukan karena ‘ini demi kebaikan pemerintah Myanmar dan rakyat sendiri’.
Ia juga mengatakan PBB sudah mengirim tim ke Bangladesh, yang menjadi tujuan pengungsian lebih dari 400.000 warga Rohingya yang menyelamatkan diri dari gelombang kekerasan di Rakhine dalam beberapa pekan ini.
Baca: Aung Suu Kyi Kambali Tolak PBB Selidiki Kekerasan Etnis Rohingya
Menurut Marzuki, ada tanda-tanda bahwa krisis kamanusiaan ‘akan makin memburuk’.
Ia mengatakan berkembang propaganda di negara berpenduduk mayoritas Buddha ini bahwa ‘orang-orang Rohingya adalah sampah masyarakat’.
Krisis kemanusiaan dipicu oleh gelombang kekerasan yang terjadi di Rakhine, yang memaksa warga minoritas Muslim Rohingya menyelamatkan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Kekerasan berawal dari serangan oleh milisi di Rakhine terhadap pos-pos keamanan yang dibalas dengan operasi oleh militer Myanmar.
PBB menggambarkan kekerasan sebagai ‘jelas-jelas pembersihan etnik’ sementara Myanmar mengatakan operasi militer yang mereka lakukan ditujukan untuk ‘membersihkan kelompok teroris’.*