Hidayatullah.com—Puluhan pakar berkumpul di Brussels akhir bulan lalu untuk membicarakan ‘fake news’ atau berita palsu dan bagaimana mengatasi penyebarannya di dunia maya.
Uni Eropa sangat khawatir dengan fenomena ini –yang dibuat naik daun oleh Presiden AS Donald Trump karena sering merujuknya– sehingga merasa perlu untuk menggambar peta rencana pertempurannya.
Hal ini menyusul tuduhan-tuduhan yang menuding Rusia menganggu proses pemenangan Hillary Clinton di AS, dan setelah Emmanuel Macron mengeluhkan bahwa kampanye pilpresnya di Prancis ditarget para peretas.
“Menurut saya kita tidak akan bisa menghentikan berita palsu,” kata Beth Hewitt, seorang dosen senior bidang media di Universitas Salford, Inggris, kepada Euronews Selasa (27/2/2018).
“Menurut saya kuncinya adalah memberikan khalayak alat untuk mengurai dan mencari tahu apakah mereka mau melanjutkan apa yang dibacanya dan apa yang mereka temukan,” ujarnya.
Mariya Gabriel, komisioner UE urusan ekonomi dan masyarakat digital, berpendapat hal yang baru soal berita palsu era sekarang adalah kecepatan dan dimensi penyebarannya, yang mempengaruhi urusan politik dan sosial.
“Berita palsu dapat mengancam nilai-nilai demokratis masyarakat kita. Oleh karena itu perlu ada sebuah proses inklusif dan berusaha untuk mencari beberapa pemecahan masalah.”
Namun, seorang wanita warga Brussels berpendapat bahwa berita palsu pada dasarnya jurnalisme masa kini. “Setiap orang harus dapat menulis sesuka hatinya dan menulis apa yang dia mau, terutama di era internet. Jadi berita palsu pada dasarnya jurnalisme kekinian.”
Seorang pria menyarankan, “Orang seharusnya tidak lagi mempercayai semua yang muncul di media sosial. Dia harusnya membaca koran sungguhan.”
Komisi Uni Eropa untuk Ekonomi dan Masyarakat Digital akan memaparkan rencananya soal bagaimana mengatasi berita palsu pada musim panas tahun ini.*