Hidayatullah.com—Vladimir Putin mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan presiden Rusia tahun 2018 ini sementara hampir tiga perempat suara suara sudah dihitung, kata Komite Pusat Pemilu.
Putin dipastikan memenangkan jabatan presiden untuk periode keempat hari Ahad (18/3/2018) dengan 75,9% suara meskipun baru 70% kertas suara yang dihitung, lapor Euronews.
Kemenangannya ini akan membawa Putin duduk di puncak kekuasaan hampir 25 tahun, terlama kedua setelah diktator Uni Soviet Josef Stalin.
Para pemilih rupanya masih memandang Putin, 65, sebagai pemimpin kuat yang tegas dan berani menantang negara-negara luar yang bersikap keras terhadap Rusia.
Aneksasi Rusia terhadap wilayah Ukraina di Krimea, dugaaan campur tangan Kremlin dalam pilpres Amerika Serikat tahun 2016 yang dimenangkan Donald Trump, serta peran Moskow dalam peperangan di Suriah, dikecam oleh banyak negara di dunia. Namun, bagi kebanyakan rakyat di dalam negerinya, semua itu hanya mencemerlangkan citra Putin sebagai seorang pemimpin yang kuat. Terlebih, sementara Rusia menghadapi banyak sanksi internasional, Putin justru mampu membangkitkan sektor pertanian dalam negeri.
- Putin: Pertanian Lebih Menghasilkan Uang daripada Jualan Senjata
- Putin: Justru Menguntungkan Rusia, Larangan Impor Makanan dari Negara Barat Terus Berlanjut
Seperti pemilu di banyak negara lain, pilpres di Rusia ini diwarnai dengan dugaan kecurangan. Dilansir Euronews, rekaman video dari tempat-tempat pemungutan suara (TPS) yang sudah berhasil diverifikasi menunjukkan petugas-petugas TPS memasukkan surat-surat suara ke dalam kotak suara. Setidaknya sampai saat ini ada 11 insiden semacam itu ditampakkan dalam rekaman kamera pengawas di TPS.
Tidak hanya itu, pilpres kali ini hanya diikuti sekitar 59,5% pemilik hak suara. Angka partisipasi aktif pemilih tahun ini paling rendah dibanding empat pilpres sebelumnya, yang sedikitnya diikuti 64,3% pemilik hak suara. Alexei Navalny, bekas oligark yang berubah menjadi penentang rezim Putin dan dilarang ikut mencalonkan diri sebagai presiden dengan alasan catatan kriminalnya terlalu banyak, mengklaim masyarakat didorong-dorong untuk mendatangai TPS supaya keikutsertaan aktif pemilik hak suara dalam pilpres bertambah.*