Hidayatullah.com–Orang di wilayah England dan Skotlandia paling sering teler berat hingga kehilangan keseimbangan dan kesulitan berbicara akibat terlalu banyak menenggak minuman beralkohol.
Global Drugs Survey (GDS) for 2020 menunjukkan masalah teler akibat minuman keras di England jauh lebih berbahaya divanding teler alias mabuk akibat narkoba, lansir The Guardian Senin (25/1/2021).
Lebih dari 5% orang di bawah usia 25 tahun di England dilaporkan meminta perawatan rumah sakit setelah mabuk berat, bandingkan dengan rata-rata global yang sekitar 2%.
Laporan GDS menegaskan, “Kebutuhan akan perawatan darurat medis merupakan konsekuensi serius dari menenggak minuman keras, menjadi beban bagi pelayanan kesehatan demikian pula bagi individu itu sendiri.”
Jumlah kasus orang mabuk miras yang dilarikan ke rumah sakit di England lebih tinggi dibanding kasus mabuk akibat konsumsi narkoba apapun kecuali heroin, menurut laporan tersebut. Konsumsi minuman beralkohol juga lebih meluas di England, di mana 94% orang mengaku pernah teler akibat miras tahun lalu, bandingkan angka itu dengan 2,3% orang yang teler akibat heroin.
Survei itu menanyai lebih dari 110.000 orang di seluruh dunia, termasuk 5.283 di England, dalam kurun 3 bulan dari November 2019 sampai Februari 2020, sebelum pandemi coronavirus.
Hasil survei tersebut mengulang hasil tahun sebelumnya yang nenunjukkan orang di England juga teler lebih sering dibanding orang-orang di negara lain.
Survei terbaru ini lebih kuat sebab di dalamnya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan teler atau mabuk. Responden ditanya seberapa sering mereka mabuk berat sampai-sampai fisik mereka tidak berfungsi normal sehingga mereka kehilangan keseimbangan dan kesulitan berbicara, kesulitan untuk fokus dan ucapan serta perilakunya jelas terlihat sangat berbeda dengan orang-orang yang dikenalnya.
Dengan menggunakan definisi itu, orang-orang di Skotlandia dan England mengaku rata-rata mabuk berat sekitar 33 kali sepanjang tahun lalu. Itu merupakan yang tertinggi di antara 25 negara yang disurvei, dan dua kali lebih tinggi dibanding sejumlah negara Eropa seperti Polandia, Hungaria, Jerman, Yunani, Spanyol, Italia dan Portugal. Rata-rata global hanya 20 kali. Di antara 25 negara yang disurvei, orang Kolombia paling jarang teler, yaitu sekitar 6,5 kali sepanjang tahun lalu.
Hanya 7% orang Skotlandia dan England yang disurvei mengaku tidak teler sama sekali selama 12 bulan tahun lalu. Hanya orang Denmark dan Australia yang persentasenya lebih rendah dari itu, yaitu 5%.
Parahnya, sedikit saja orang di England yang mengaku menyesal setelah mabuk berat, hanya 31%. Sedangkan di Skotlandia yang mengaku menyesal 33,8%. Bandingkan dengan rata-rata global 32,8%.
Orang di Kolombia paling banyak yang mengaku menyesal setelah teler, yaitu 88,3%.
Riset GDS sebelumnya menunjukkan bahwa ketika mabuk orang biasanya menghabiskan uang jajannya untuk satu minggu dalam sekali duduk. Akibat mabuk mereka juga rentan mengalami kecelakaan, trauma dan terganggu sistem imunnya (yang terakhir ini sangat mengkhawatirkan terutama di masa pandemi Covid-19).
Riset lain oleh GDS tagun lalu mendapati 48% orang di wilayah Britania Raya memgaku semakin banyak menenggak minuman beralkohol sejak awal pandemi.
Prof Adam Winstock, pimpinan eksekutif dan pendiri GDS, berkata bahwa bangsa Inggris tidak memiliki budaya jujur tentang dampak menenggak minuman beralkohol. Orang Inggris tidak punya takaran konsumsi minuman beralkohol.
“Sementara banyak kebudayaan lain menganggap alkohol hanya sebagai pelengkap acara sosial dan bahkan tidak suka melihat orang mabuk di tempat umum, kita sering kali justru menganggapnya sebagai bagian identitas budaya,” kata Winstock soal kebiasaan mengkonsumsi alkohol orang-orang di Inggris.*