Hidayatullah.com—Emmerson Mnangagwa diambil sumpahnya sebagai presiden Zimbabwe yang baru dan dia menjanjikan masa depan yang carah bagi negara Afrika itu.
Menyusul pelantikan dirinya, Mnangagwa mengumumkan perihal penyelidikan atas kematian enam orang dalam bentrokan antara tentara dengan para pendukung oposisi usai pemilu bulan Juli lalu. Aksi kekerasan itu tidak dapat diterima, kata Mnangagwa seperti dilansir BBC Ahad (26/8/2018).
Oposisi MDC Alliance bersikukuh menentang hasil pemilu meskipun keputusan pengadilan hari Jumat sudah menyatakannya sah.
Pemilu bulan Juli merupakan pemilihan umum pertama yang digelar Zimbabwe setelah tokoh veteran Robert Mugabe didesak mundur dari jabatan presiden.
Lebih dari 50.000 suporter dan beberapa kepala negara di Afrika menghadiri pelantikan Mnangagwa, bersama putri tertua mantan presiden Robert Mugabe.
Meskipun menyatakan dukungannya untuk capres dari oposisi dan bukan capres dari partainya sendiri Zanu-PF, Mugabe mengirimkan pesan permintaan maaf karena absen dalam seremoni itu dan mengucapkan selamat kepada Mnangagwa, orang yang mendongkelnya dari kursi presiden.
Dalam pidato pertama usai pelantikan, presiden baru itu memproklamasikan “republik kedua” bagi Zimbabwe, menjanjikan pendirian rumah-rumah sakit, serta menghidupkan kembali sistem pendidikan di negara itu yang dulu pernah diakui dunia. Namun, Mnangagwa juga memperingatkan bahwa perubahan yang akan dilakukan Zimbabwe tidak bisa berlangsung hanya dalam sekejap.
Dia menyeru kepada oposisi agar bekerja sama dengan dirinya membangun “ibu pertiwi.”
Partai oposisi terbesar MDC menolak menghadiri pelantikan Mnangagwa, meskipun beberapa politisi oposisi kelihatan tidak keberatan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Amerika Serikat saat ini masih memberlakukan sanksi atas sejumlah tokoh senior partai Zanu-PF termasuk Mnangagwa. Sedangkan Uni Eropa sudah mencabut sebagian besar sanksinya.
Pengamat pemilu dari Uni Eropa, usai keputusan pengadilan yang mengukuhkan kemenangan Mnangagwa, mengatakan bahwa semua partai harus menerima keputusan tersebut. Akan tetapi Uni Eropa juga mengatakan bahwa Presiden Mnangagwa diuntungkan dari pemilu yang digelar di “lapangan yang tidak rata” itu.*