Hidayatullah.com–Dinas intelijen luar negeri Inggris MI6 mendapat tekanan untuk membuka file tentang kematian misterius seorang sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tewas dalam kecelakaan pesawat terbang hampir 60 tahun silam.
Dag Hammarskjöld tewas bersama 13 orang lain pada September 1961, ketika pesawat yang ditumpanginya jatuh di Ndola, yang kala itu termasuk wilayah Rhodesia Utara. Ada spekulasi bahwa pesawat tersebut sengaja dijatuhkan. Sebuah film yang dirilis tahun ini, Cold Case Hammarakjöld, salah satu pemenang dalam Festival Film Sundace 2019, meramaikan spekulasi itu.
Sekarang, sebuah laporan dari Mohamed Chande Othman, mantan ketua Mahkamah Agung Tanzania yang ditunjuk PBB untuk mengkaji berbagai informasi seputar kasus itu, menuding Inggris ogah-ogahan membantu, lapor The Guardian Sabtu (11/10/2019).
Inggris menebar agen-agen intelijen di seluruh penjuru Afrika pada tahun 1960-an, dan diminta untuk membagikan informasi yang dimilikinya tentang peristiwa jatuhnya pesawat tersebut.
“Inggris dan Amerika Serikat hampir dipastikan memiiki informasi penting yang tidak diungkapkan,” kata Othman, seraya menambahkan bahwa Inggris baru merespon permintaan informasi tersebut 15 bulan kemudian.
“Meskipun Inggris sudah dipastikan sangat mungkin memiliki informasi relevan, dan meskipun ada saya mengindikasikan di area tertentu mana informasi itu mungkin dapat ditemukan, tidak ada dokumen baru atau informasi lain yang diberikan, dan tidak ada respon atas pertanyaan-pertanyaan detil yang saya sampaikan,” papar Mohamed Chande Othman.
Tahun lalu, PBB meminta 14 negara –termasuk Inggris, Afrika Selatan, Amerika Serikat dan Rusia– masing-masing menunjuk seorang pejabat independen untuk melakukan kajian terhadap arsip-arsip intelijen, keamanan dan pertahanan mereka.
Inggris melakukan kajian itu dalam waktu satu bulan. Dalam laporannya Othman mencatat, “Menurut saya tidak fair mengharapkan waktu satu bulan cukup untuk menuntaskan kajian menyeluruh atas permasalahan luas dan mendalam yang ditanyakan.”
Laporan Othman mendesak Inggris dan negara-negara lain yang memiliki informasi agar terlibat investigasi PBB itu “lebih jauh dan dalam”.
Laporan itu mengatakan sudah menampakkan “contoh-contoh konkret” yang membantah klaim Inggris telah melakukan pengkajian menyeluruh –termasuk sangkalan Inggris bahwa kerajaan itu memliki informasi tentang orang bernama Neil Ritchie, yang bekerja sebagai agen MI6 di Provinsi Katanga di Kongo.
Lord Lea of Crondall, ketua Hammarskjöld Inquiry Trust, menuding pemerintah Inggris menghambat upaya pengungkapan kasus tersebut. “MI6 kehabisan ruang persembunyian,” kata Lea. “Setelah adanya laporan ini mereka akan ditegur bahkan lebih keras oleh PBB,” imbuhnya. “Sudah tiba waktunya bagi PBB untuk menanyakan langsung kepada Inggris: Apakah mereka menyetujui pertemuan dengan MI6, ya atau tidak?”
Pada saat kematiannya, Hammarskjöld berusaha mencegah Katanga melepaskan diri dari Kongo, yang akan miliki konsekuensi geopolitik signifikan. Kongo kala itu menerima bantuan dari Uni Soviet dan memiliki cadangan uranium terbesar dunia. Membayangi negara itu adalah banyak dinas intelijen negara asing seperti KGB, CIA dan MI6 yang mendorong kepentingan masing-masing negara mereka.
Serangkaian penyelidikan menggali beragam hipotesis tentang peristiwa jatuhnya pesawat tersebut, antara lain serangan udara atau darat, sabotase, pembajakan dan kesalahan manusia. Satu-satunya penyintas dalam kejadian itu, Harold Julien, mengatakan terjadi ledakan sebelum pesawat jatuh dari langit. Dia wafat akibat luka yang dideritanya enam hari kemudian.
Cold Case Hammarskjöld mengklaim bahwa seorang pilot Belgia bernama Jan van Risseghem mengaku menembak jatuh pesawat PBB itu. Koran The Observer mengungkap bahwa van Risseghem memiliki keterkaitan luas dengan Inggris, seperti ibunya yang orang Inggris, istrinya juga orang Inggris, dia dilatih oleh Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) dan mendapatkan penghargaan dari Inggris atas tugas yang dijalaninya semasa Perang Dunia Kedua.*