Hidayatullah.com–Sebuah organisasi kemanusiaan mengatakan bahwa lebih dari 500.000 anak pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak dapat sekolah pada tahun 2018. Hal itu disebut sebagai “Generasi yang Hilang”.
Komite Penyelamatan Internasional (International Rescue Committee – IRC) mengatakan kecuali jika ada intervensi “didanai dengan segera”, kebutuhan kemanusiaan anak di sana akan meningkat.
“Pendidikan dalam keadaan darurat adalah intervensi yang menyelamatkan jiwa dan mengubah hidup -membantu anak pulih dan mengatasi kesulitan yang terus mereka hadapi,” kata Sarah Smith, direktur senior untuk pendidikan IRC, pada hari Jumat lalu, (22/12/2017).
“Ini sangat mendesak bagi anak-anak Rohingya; tidak ada yang memperhatikan kebutuhan mereka, dan mereka menghadapi beberapa tingkat trauma tertinggi yang pernah dilihat IRC. Sampai hak anak atas pendidikan dalam krisis Rohingya ini terwujud, kita menghadapi ancaman generasi yang hilang dari apa yang sudah menjadi salah satu populasi paling rentan di dunia,” terangnya dikutip dari Aljazeera.
Kurang dari dua persen dana kemanusiaan yang masuk untuk masalah pendidikan, sektor yang paling kekurangan dana untuk menanggapi situasi Rohingya, kata IRC.
Evan Schuurman, bagian dari tim tanggap darurat Save the Children di Cox’s Bazar, mengatakan pada bulan Oktober bahwa sekolah sangat penting bagi anak-anak pengungsi yang trauma.
“Sekolah bukan hanya untuk belajar,” tulisnya dalam sebuah karya yang diterbitkan oleh Aljazeera.
“Sekolah juga menyediakan rutinitas dan rasa normal, tempat dimana anak bisa berteman, bermain dan mengingat bagaimana rasanya menjadi anak-anak. ISekolah juga merupakan bentuk perlindungan penting dari eksploitasi dan pelecehan, seperti perdagangan manusia,” bunyi tulisannya.
Baca: Amnesti: Pembersihan Etnis Rohingya adalah ‘Apartheid’
Menurut Aliansi Burma Oxford, sebuah organisasi yang dikelola oleh mahasiswa di Universitas Oxford, lebih dari 60 persen anak-anak Rohingya berusia antara lima dan 17 tahun tidak pernah bersekolah karena kemiskinan, pembatasan pemerintah terhadap gerakan mereka, dan kurangnya sekolah di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Lebih dari 620.000 orang Rohingya telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh sejak 25 Agustus karena takut akan pelecehan oleh tentara Myanmar, yang oleh Amerika Serikat dan PBB digambarkan sebagai “pembersihan etnis”.
Krisis yang sedang berlangsung telah digambarkan sebagai eksodus paksa terbesar tahun 2017.
Bangladesh dan Myanmar menandatangani kesepakatan bulan lalu untuk mengembalikan ratusan ribu pengungsi Rohingya, namun sedikit yang diketahui mengenai rinciannya.*/Sirajuddin Muslim