Hidayatullah.com | Menjaga kebersihan dan memakai masker adalah budaya orang-orang Jepang, sehingga aturan selama pandemi Covid-19 tak banyak berubah di negara ini. Dalam kehidupan sehari-hari, warga Jepang terbiasa memakai cairan antiseptik (hand sanitizer), masker, dan selalu menjaga kebersihan.
“Dalam kehidupan sehari-hari mereka, warga Jepang terbiasa memakai cairan antiseptik (hand sanitizer), masker, dan selalu menjaga kebersihan. Satu-satunya masalah adalah tidak ada pengujian masif untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi atau tidak,” ujar Ahmad, seorang insinyur yang berbasis di Tokyo kepada Anadolu Agency.
Sejauh ini, Jepang melaporkan hampir 13.231 kasus Covid-19, 360 di antaranya meninggal dunia.
Sebelum pemerintah mengumumkan darurat kesehatan, warga Jepang sudah mengambil tindakan pencegahan dengan tidak bepergian.
“Mobilitas warga sudah berkurang sejak adanya wabah ini. Orang-orang sadar bahwa pembatasan sosial sudah menjadi bagian dari rutinitas mereka,” tambah Ahmad.
Virus corona, atau yang secara resmi dikenal sebagai Covid-19, telah menginfeksi lebih dari tiga juta jiwa di seluruh dunia. Virus itu pertama kali dideteksi di Wuhan, China, pada Desember lalu, dan telah menyebar ke lebih dari 200 negara dan wilayah.
Sementara itu, 207.094 orang meninggal dunia akibat virus corona, sedangkan 882.552 pasien sudah dinyatakan pulih.
Mengapa tidak ada tes Covid-19 massal?
Setiap individu harus menjalani serangkaian pemeriksaan, termasuk tes darah, X-ray, dan pengambilan sampel flu, sehingga dokter bisa menentukan apakah seorang pasien memenuhi kriteria untuk menjalani tes Covid-19.
“Proses ini sangat memakan waktu. Apalagi jika ternyata pasien mengidap penyakit yang berbeda. Jika seorang pasien diduga terpapar virus corona, rintangan terbesarnya adalah memanggil pusat kesehatan untuk melakukan tes dan ini hampir selalu ditolak,” ungkap seorang dokter di sebuah rumah sakit di Tokyo seperti dilansir oleh NHK.
Jepang yang merupakan ekonomi terbesar ketiga di dunia, hanya mampu melakukan 7.800 tes per hari. Itu jauh lebih rendah ketimbang Amerika Serikat yang melakukan sekitar 150.000 per hari. Keterbatasan jumlah tes ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang keakuratan jumlah kasus Covid-19 di Jepang.
“Pusat kesehatan tidak akan menerima tes, bahkan jika itu untuk pasien yang sangat mungkin terinfeksi,” tambah dokter itu.
Kekhawatiran itu diperparah dengan fakta bahwa 30 persen populasi Jepang adalah orang-orang berusia 60 tahun ke atas, yaitu kelompok usia yang paling rentan terinfeksi virus.
“Ada banyak panti jompo dan fasilitas perawatan bagi orang-orang lansia di Tokyo. Baru-baru ini, salah satunya menjadi cluster. Kami khawatir ada lebih banyak cluster yang belum teridentifikasi,”
Masalah ini kemudian memicu Kedutaan Besar AS di Tokyo untuk mendesak warga Amerika meninggalkan Jepang. Sementara itu, Kato Takuma, seorang pejabat Kementerian Kesehatan Jepang, mengatakan pemerintah telah meminta pusat kesehatan untuk menggelar tes sejak Februari.
Karantina wilayah ancam bisnis ekspor
Bulan lalu, Parlemen Jepang mengeluarkan amandemen yang memungkinkan Perdana Menteri Abe Shinzo untuk mengumumkan darurat kesehatan nasional di tengah pandemi corona. Sejak itu, keadaan darurat diberlakukan di seluruh penjuru negeri, setelah sebelumnya hanya berlaku di tujuh provinsi.
Di sisi lain, Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengungkapkan bahwa hukum Jepang membuatnya “tidak mungkin” untuk memaksakan karantina total di Tokyo.
Ahmad, insinyur perangkat lunak, mengatakan dia, bersama dengan ratusan karyawan perusahaan TI, bekerja dari rumah selama sebulan terakhir.
“Kebanyakan orang Jepang bekerja berdasarkan upah harian. Itulah sebabnya kami menolak karantina wilayah,” tambah dia.
“Ekonomi Jepang berorientasi pada ekspor. Sebagian besar konsumen berada di luar negeri. Jadi, jika karantina wilayah diberlakukan, maka bisnis ekspor akan sangat terpukul,” kata seorang pengusaha yang berbasis di Osaka.
PM Jepang pun mengakui bahwa untuk pertama kalinya sejak era pascaperang, ekonomi Jepang menghadapi kriris terbesar. Untuk mendukung sektor ekonomi, pemerintahan Abe meluncurkan paket stimulus terbesar yang pernah ada di negara itu yang setara dengan 20 persen dari PDB negara, yaitu senilai 990 miliar AS dolar. Bantuan itu disalurkan untuk membantu bisnis dan rumah tangga yang terdampak wabah virus corona.
Kehidupan normal dengan tindakan pencegahan
Saat ini Jepang tengah memasuki “musim sakura”. “Biasanya puluhan ribu warga Jepang merayakan musim ini dengan pergi ke taman-taman umum. Sejak adanya wabah ini, jumlah pengunjung pun menurun drastis,” tutur Ahmad.
Meskipun begitu, menurut Ahmad, orang-orang masih pergi memancing atau bermain game. Untuk membendung penyebaran virus corona, pemerintah Jepang pun membatasi perjalanan ke luar negeri. Selain itu, warganya yang datang dari luar negeri harus menjalani karantina sekurang-kurangnya 14 hari.
Menteri Luar Negeri Toshimitsu Motegi menegaskan bahwa para pelancong asing yang punya riwayat perjalanan ke 14 negara – termasuk beberapa negara Timur Tengah seperti UEA, Arab Saudi, dan juga Rusia – dalam dua minggu terakhir sebelum datang ke Jepang akan ditolak masuk.*