Hidayatullah.com—Pemberlakuan kembali larang penjualan minuman beralkohol (minol) guna membantu meredam penyebaran coronavirus membuat warga Afrika Selatan terpecah, sebagian mendukung dan sebagian menolak
Presiden Cyril Ramaphosa mengatakan larangan itu, yang kedua kalinya tahun ini, akan mengurangi beban yang dihadapi rumah sakit dan tenaga kesehatan selama masa pandemi Covid-19.
Afrika Selatan merupakan negara paling parah terdampak Covid-19 di kawasan Benua Afrika, dengan lebih dari 270.000 kasus infeksi dan 4.000 lebih kematian yang berkaitan dengan virus tersebut, yang diperkirakan pemerintah akan melonjak sampai 50.000 pada akhir tahun ini.
Larangan penjualan minol ini diberlakukan kembali hanya beberapa pekan setelah larangan serupa dicabut. Larangan penjualan minol sebelumnya yang diberlakukan selama tiga bulan ditujukan untuk mencegah dan menekan kasus perkelahian di kalangan warga yang mabuk, menekan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan masalah-masalah lain yang ditimbulkan oleh kebiasaan orang mabuk-mabukan di akhir pekan.
Pekan lalu, Afsel mencatat angka kenaikan harian tertinggi kasus infeksi coronavirus. Hampir setengahnya terjadi di Gauteng, provinsi yang sekarang menjadi episentrum penyebaran Covid-19.
Dalam pidatonya, Ramaphosa mengakui “kebanyakan” orang sudah ikut berperan aktif dalam meredam penyebaran penyakit baru tersebut, tetapi sebagian orang lainnya masih bertindak “tanpa tanggung jawab dan tidak menghormati serta tidak melindungi satu sama lain.”
“Ada sejumlah orang yang menyelenggarakan pesta-pesta, yang mabuk-mabukan, dan sebagian orang berjalan di tempat-tempat keramaian tanpa mengenakan masker,” kata Presiden Afsel itu.
Ramaphosa mengatakan pemberlakuan kembali larangan penjualan minol ini untuk membantu negara tersebut melewati wabah coronavirus. Untuk kepentingan yang sama, status darurat akan diperpanjang sampai 15 Agustus, dan jam malam akan diberlakukan mulai pukul 21:00 sampai 04:00. Penggunaan masker diwajibkan di tempat-tempat umum.
Pemerintah juga menyediakan 28.000 tempat tidur di berbagai rumah sakit untuk pasien Covid-19. Namun, dia juga mengatakan negara itu masih kekurangan lebih dari 12.000 pekerja kesehatan, termasuk perawat, dokter dan fisioterapis, lansir BBC Senin (13/7/2020).
Sementara sebagian mendukung kebijakan Ramaphosa, sebagian lain mengatakan Presiden justru menyalahkan rakyat atas kegagalannya menanggulangi pandemi coronavirus.
Para dokter dan polisi mengatakan bahwa larangan penjualan minuman beralkohol yang diterapkan beberapa waktu lalu berhasil mengurangi jumlah orang yang dilarikan ke unit gawat darurat di rumah sakit. Namun, para pembuatan bir dan wine mengeluh bisnis mereka terancam gulung tikar.
Kelompok utama oposisi Aliansi Demokrat mengatakan pemerintah menggunakan larangan minol sebagai kambing hitam atas kegagalannya memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi rakyat.
Julius Malema, pemimpin oposisi dari Economic Freedom Fighters, lewat Twitter mengatakan bahwa Ramaphosa gagal mengindahkan peringatannya sendiri agar tidak mencabut larangan penjualan minol yang pertama kali diberlakukan bulan Maret. Dia juga seharusnya tidak membuka kembali sekolah yang bulan lalu sudah diaktifkan kembali.
Warga yang kesal dengan larangan itu lewat media sosial mengatakan bahwa para pekerja di industri perhotelan dan restoran akan kehilangan pekerjaan.*