Hidayatullah.com–Pemerintah transisi Sudan telah setuju untuk memisahkan agama dari negara, mengakhiri 30 tahun pemerintahan Islam di negara tersebut, CGTN melaporkan.
Pemimpin Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-kelompok pemberontak Utara Abdel-Aziz al-Hilu dan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok menandatangani deklarasi di Addis Ababa pada hari Kamis (03/08/2020).
“Agar Sudan menjadi negara demokratis di mana hak-hak semua warga negara diabadikan, konstitusi harus didasarkan pada prinsip ‘pemisahan agama dan negara,’ yang mana hak untuk menentukan nasib sendiri harus dihormati,” deklarasi tersebut menyatakan.
Ini terjadi kurang dari seminggu setelah pemerintah menandatangani perjanjian damai dengan pasukan pemberontak, meningkatkan harapan diakhirinya kekerasan yang telah melumpuhkan wilayah Darfur dan bagian lain Sudan.
Sebelumnya pada Juli, pemerintah transisi Sudan mendukung amandemen hukum yang memicu kontroversi luas.
Pemerintah membatalkan undang-undang kemurtadan, mencabut hukuman mati bagi mereka yang dianggap telah meninggalkan agama Islam, dan menggantinya dengan hukuman yang memberatkan Takfir, atau tindakan menuduh Muslim lain murtad atau menyatakan Muslim lain sebagai kafir, dengan hukuman sebesar 10 tahun penjara.
Undang-undang baru juga mengizinkan non-Muslim untuk memproduksi dan meminum alkohol dan mengizinkan wanita untuk bepergian ke luar negeri dengan anak-anak mereka dengan persetujuan suami.
Amandemen yang menghapus hukum Syariah itu ditentang luas oleh kalangan Muslim.
Mohamed Ali Al-Jazouli, ketua Partai Negara Hukum dan Pembangunan di Sudan, mengecam pemerintah transisi, mendesak tentara, polisi dan pasukan keamanan untuk tidak mematuhi perintah pemerintah, yang mendorong pihak berwenang untuk menangkapnya pada 15 Juli.
Partai Kongres Populer Sudan, sementara itu, menyuarakan tekad untuk menentang amandemen tersebut dan berupaya untuk membatalkannya melalui cara-cara demokratis.
“Amandemen dalam undang-undang pidana yang berkaitan dengan mengizinkan non-Muslim untuk minum alkohol dianggap sebagai kegagalan moral sebelum melanggar hukum Islam,” kata partai itu dalam sebuah pernyataan, dilansir oleh CGTN.
Ikhwanul Muslimin (IM) di Sudan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa membatalkan item dalam hukum Islam yang ditetapkan dalam hukum pidana Sudan yang berlaku adalah serius. IM juga mengatakan bahwa hal itu menyangkut iman Muslim dan prinsip-prinsip agama Islam.
Ikhwanul Muslimin lebih jauh mendesak pemerintah untuk segera mundur dari jalan ini.
Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok di akun Twitternya pada Juli, menegaskan komitmen pemerintah untuk melestarikan nilai-nilai Islam dan menghormati prinsip-prinsip Islam.
Sejak 1983, Sudan telah melarang minum alkohol ketika mantan Presiden Ja’far Nimiri mendeklarasikan hukum Syariah di negara itu, yang masih menjadi sumber undang-undang pertama di negara tersebut.*