Hidayatullah.com—Negara bagian Karnataka di India selatan menutup semua sekolah menengah dan perguruan tinggi selama tiga hari. Kebijakan dilakukan setelah ketegangan meletus ketika siswa perempuan Muslim datang ke kelas dengan mengenakan jilbab, kutip The Guardian.
Negara bagian yang diperintah oleh Partai nasionalis Hindu Bharatiya Janata Party (BJP) telah mengalami ketegangan selama beberapa hari berturut-turut setelah beberapa sekolah di distrik pesisir Udupi melarang siswa perempuan mengenakan jilbab. Aksi tersebut memicu protes mahasiswa Muslim, keluarga mereka dan kelompok masyarakat yang menyebut aksi tersebut sebagai diskriminasi agama.
Masalah ini dimulai pada bulan Januari, ketika enam mahasiswi Muslim melakukan protes selama berminggu-minggu setelah mereka diberitahu untuk melepaskan jilbab mereka atau berhenti menghadiri kelas di sebuah perguruan tinggi negeri di distrik Udupi.
Pekan lalu, perguruan tinggi lain di negara bagian itu mulai memberlakukan larangan serupa setelah beberapa siswa Hindu, yang didukung oleh kelompok Hindu sayap kanan, Hindutva, melakukan aksi protes bahwa jika jilbab diizinkan di ruang kelas, mereka harus diizinkan memakai selendang safron, warna yang dikaitkan dengan nasionalisme Hindu.
One more video from Sagar. Yesterdaypic.twitter.com/D5csPeY5qc
— Mohammed Zubair (@zoo_bear) February 9, 2022
Pada hari Sabtu, dalam mendukung hak sekolah untuk memberlakukan larangan, pemerintah negara bagian Karnataka mengarahkan perguruan tinggi untuk memastikan bahwa “pakaian yang mengganggu kesetaraan, integritas dan hukum dan ketertiban publik tidak boleh dipakai”.
Baca: Kelompok Radikal Hindutva Menyerang Muslim dan Masjid di Seluruh Negara Bagian India
Pelajar Muslim berpendapat bahwa hak mereka untuk kebebasan beragama dilanggar, dan telah membawa masalah ini ke pengadilan tinggi negara bagian. Para siswa berpendapat bahwa “apartheid agama” diberlakukan di beberapa perguruan tinggi di mana wanita berhijab diizinkan masuk tetapi disimpan di ruang kelas yang terpisah.
Banyak mahasiswi yang dilecehkan di depan umum oleh mahasiswa yang berpihak pada kelompok nasionalis Hindu. “Saya menghimbau kepada seluruh siswa, guru dan manajemen sekolah dan perguruan tinggi serta masyarakat Karnataka untuk menjaga perdamaian dan kerukunan,” kata Kepala Menteri Karnataka Basavaraj Bommai dalam sebuah sebuah ciutan di posting Twitter Selasa (8/2/2022).
“Saya telah memerintahkan penutupan semua sekolah menengah dan perguruan tinggi selama tiga hari ke depan. Semua pihak diminta untuk bekerja sama,” tambahnya.
Situasi ini juga mengundang kecaman dari pemenang hadiah Nobel perdamaian Malala Yousafzai, yang mengatakan situasinya “mengerikan” dan meminta para pemimpin India untuk menghentikan “marginalisasi perempuan India”.
Mahasiswa Muslim di Dr BB Hegde College di Udupi menggambarkan bagaimana mereka datang ke kelas Kamis lalu dan mendapati mereka dilarang masuk oleh sekelompok besar pria, termasuk sesama mahasiswa, yang mengenakan selendang safron. Kelompok itu bahkan menuntut para mahasiswa Muslim melepas jilbab mereka.
Pada hari Jumat, sembilan siswa perempuan Muslim – dari lebih dari 1.000 yang terdaftar di perguruan tinggi – telah dilarang masuk melalui gerbang sekolah dengan menggunakan kerudung. Kepala sekolah memberi tahu para wanita itu bahwa itu adalah perintah pemerintah dan bahwa mereka harus pergi ke kamar mandi untuk melepas jilbab mereka atau mereka tidak dapat menghadiri kelas.
Makes me so sad to see the youth of India divided- pic.twitter.com/eOpFsNjuFl
— Ramya/Divya Spandana (@divyaspandana) February 9, 2022
Setelah gadis-gadis itu menolak untuk melepas jilbab mereka, gerbang sekolah dikunci untuk mencegah mereka masuk dan beberapa petugas polisi dipanggil.
Rabiya Khan, seorang mahasiswa di perguruan tinggi tersebut, mengatakan bahwa pemimpin sekolah telah mendapat tekanan dari kelompok-kelompok Hindu sayap kanan. “Unsur-unsur Hindutva [nasionalisme Hindu garis keras] tidak memiliki masalah dengan jilbab, mereka memiliki masalah dengan seluruh identitas agama dan budaya kita,” katanya.
Meskipun banyak siswa Hindu di kelas mereka secara pribadi telah menyuarakan dukungan untuk hak mereka untuk mengenakan jilbab, mereka tetap diam karena mereka takut dengan tindakan kelompok main hakim sendiri, kata Khan.
Saat perselisihan meletus dan dia dipulangkan dari sekolah, orang tua Khan menyuruhnya melepas jilbab sehingga setidaknya dia masih bisa melanjutkan pendidikan, dengan ujian penting yang hanya tinggal dua bulan lagi.
“Tetapi saya mengatakan kepada mereka bahwa jika kita menyerah, itu akan meningkatkan moral elemen komunal dan menciptakan masalah bagi siswa Muslim di masa depan,” kata Khan. “Kami harus berkorban dan tetap kuat,” ujar Khan, menekankan bahwa siswa Muslim tidak pernah menyuarakan keberatan terhadap siswa Hindu yang mengenakan selendang safron.
Saniya Parveen, 20, mahasiswa Muslim lainnya di kampus tersebut, mengatakan bahwa dia telah mengenakan jilbab ke kampus selama tiga tahun tanpa adanya keberatan, dan bahwa Muslim dan Hindu selalu belajar bersama secara berdampingan dengan damai. Parveen mengatakan dia dan rekan-rekan mahasiswa Muslimnya dengan cemas menunggu hasil perintah pengadilan untuk mengetahui apakah mereka dapat kembali ke studi mereka.
“Saya berharap kami akan diizinkan untuk menghadiri kelas berhijab,” katanya. “Ini adalah paksaan agama dan hak konstitusional kami; kami tidak akan menyerah.”

Di Sekolah Tinggi Seni dan Sains Bhandarkars di distrik Udupi, di mana larangan hijab juga diberlakukan, seorang siswa berbicara tentang keputusasaannya pada siswa Muslim yang dibuat merasa seperti “pengemis di gerbang perguruan tinggi”.
“Ini memalukan,” katanya. “Dulu kami merasa sangat aman di dalam kampus dan tidak pernah merasa berbeda dengan teman sekelas Hindu kami. Tiba-tiba kita dibuat merasa seperti orang luar. Untuk pertama kalinya kami dibuat menyadari bahwa kami adalah Muslim dan mereka adalah Hindu.”
Dalam sebuah pernyataan, juru bicara Karnataka untuk Vishva Hindu Parishad, salah satu kelompok sayap kanan di garis depan protes anti-hijab, menyebut barisan hijab sebagai “konspirasi untuk menyebarkan terorisme jihad” dan mengatakan bahwa mahasiswa Muslim sedang mencoba “jihad hijab” di kampus-kampus.
Apoorvanand, seorang profesor bahasa Hindi di Universitas Delhi, mengatakan kontroversi itu adalah bagian dari proyek yang lebih besar di mana “penanda identitas Muslim dinyatakan sebagai sektarian dan tidak diinginkan di ruang publik”. “Ini memberi tahu Muslim dan non-Hindu bahwa negara akan mendikte penampilan dan praktik mereka,” katanya.
Pada hari Senin, beberapa siswa berhijab diizinkan masuk ke perguruan tinggi pra-universitas pemerintah di Udupi tetapi dipaksa untuk duduk di ruang kelas terpisah. “Kami disuruh duduk di ruang terpisah dan tidak ada guru yang datang untuk mengajari kami,” kata salah satu siswa. “Kami hanya duduk di sana seperti penjahat,” katanya.
Karnataka dijalankan oleh partai nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP), yang juga memerintah di tingkat nasional. Di bawah pengawasannya telah terjadi gelombang kekerasan dan sentimen anti-Muslim yang meningkat di seluruh India, di mana 12% (hampir mencapai 200 juta jiwa) populasinya adalah Muslim. Kepala negara bagian BJP di Karnataka, Nalin Kumar Kateel, mengatakan pelarangan jilbab akan memastikan bahwa ruang kelas tidak menjadi “seperti Taliban”.
Rahul Gandhi, pemimpin partai oposisi Kongres Nasional India, sangat kritis dalam kasus ini. “Dengan membiarkan hijab siswa menghalangi pendidikan mereka, kita merampok masa depan putri-putri India,” katanya. “Melarang siswa berhijab memasuki sekolah adalah pelanggaran hak-hak dasar,” demikian pernyataan kerasnya beberapa hari lalu.*