Hidayatullah.com– Di Korea Selatan, semakin berkurang wanita yang memiliki anak dan, kalaupun mereka mau, mereka memilih untuk menunda dengan cara membekukan telurnya disebabkan biaya hidup dan pemeliharaan anak semakin mahal.
Lim Eun-young, seorang wanita 34 tahun yang bekerja sebagai ASN, mengaku tidak siap untuk membina rumah tangga karena biayanya mahal dan dia baru beberapa bulan saja menjalin asmara dengan seorang pria. Namun, karena khawatir dengan jam biologis untuk memiliki anak, dia memutuskan untuk membekukan telurnya pada November 2021.
Lim merupakan satu dari sekitar 1.200 wanita tak menikah yang menjalani prosedur itu tahun lalu di CHA Medical Center, jaringan klinik fertilitas terbesar di Korea Selatan yang menguasai sekitar 30% pangsa pasar IVF. Kliennya berlipat ganda dalam kurun dua tahun terakhir.
“Ini sangat melegakan dan memberi saya ketenangan pikiran, mengetahui bahwa saya memiliki telur sehat yang dibekukan di sini,” kata Lim seperti dikutip Reuters Jumat (13/5/2022).
Meskipun pemerintah sudah memberikan subsidi dan tunjangan bagi keluarga yang memiliki anak, mengalokasikan 46,7 triliun won ($37 miliar) tahun lalu untuk mendanai kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi tingkat kelahiran yang rendah, tingkat fertilitas Korea Selatan hanya 0,81 tahun lalu. Bandingkan dengan rata-rata 1,59 di kalangan negara anggota OECD tahun 2020.
“Kami mendengar dari pasangan yang sudah menikah dan menonton acara TV realitas tentang betapa mahalnya membesarkan anak dalam hal biaya pendidikan dan segalanya, dan itu semua menambah kekhawatiran akibatnya semakin sedikit pernikahan dan bayi,” kata Lim.
Biaya perumahan juga melonjak. Sebuah apartemen rata-rata di Seoul, misalnya, harganya setara dengan sekitar 19 tahun dari pendapatan rumah tangga tahunan rata-rata Korea Selatan, naik dari 11 tahun pada 2017.
Cho So-Young, perawat berusia 32 tahun yang bekerja di CHA berencana membekukan telurnya pada bulan Juli mendatang. Dia ingin hidup mapan dulu sebelum memiliki anak.
“Jika saya menikah sekarang dan melahirkan, saya tidak bisa memberi bayi saya lingkungan seperti yang saya dapatkan dulu ketika saya tumbuh dewasa …Saya ingin perumahan yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik dan makanan yang lebih baik untuk dimakan,” katanya.
Ada faktor lain yang menyebabkan tingkat kelahiran di Korea Selatan rendah dibanding negara OECD. Di negeri ginseng itu, menikah dipandang sebagai prasyarat untuk memiliki anak. Hanya 2% kelahiran di Korea Selatan yang terjadi di luar pernikahan. Bandingkan dengan rata-rata negara anggota OECD yang mencapai 40%.
Meskipun wanita Korsel bisa membekukan telur, bukan berarti mereka bisa bebas memutuskan kapan saja untuk hamil. Donasi sperma masih ilegal di negara itu, dan embrio dari prosedur IVF hanya bisa ditanamkan di rahim apabila si wanita berstatus menikah.
Lebih mengkhawatirkan lagi adalah statistik yang menunjukkan penurunan tajam dalam keinginan untuk memiliki anak sama sekali.
Sekitar 52% orang Korea Selatan berusia 20-an mengatakan tidak berencana untuk memiliki anak ketika mereka menikah, lompatan besar dari 29% pada tahun 2015, menurut survei yang dilakukan pada tahun 2020 oleh kementerian gender dan keluarga negara itu.*
($1 = 1,276 won)