Hidayatullah.com—Sedikitnya 125 orang terluka kemarin dalam bentrokan langka antara pendukung Syiah terkemuka Muqtada al-Sadr dan pasukan keamanan Iraq. Kementerian Kesehatan negara itu mengkonfirmasi dalam sebuah pernyataan bahwa 100 pengunjuk rasa terluka dalam bentrokan dengan pasukan keamanan di Parlemen.
Sebanyak 25 tentara juga terluka, lapor Anadolu Agency. Menyusul konflik pandangan politik, pemerintahan baru Iraq gagal terbentuk hingga saat ini, sejak pemilu dini digelar Oktober lalu.
Pada 25 Juli, koalisi Kerangka Koordinasi Pro-Iran memilih Mohammed al-Sudani, 52, sebagai kandidatnya untuk memimpin pemerintahan, dalam upaya untuk mengakhiri krisis selama delapan bulan. Pencalonan al-Sudani menyebabkan perpecahan karena para pengunjuk rasa dan gerakan Syiah Sadrist menginginkan sosok yang dicalonkan itu termasuk di antara mereka yang tidak pernah terlibat dengan pemerintah.
Hari Sabtu kemarin, pasukan keamanan menutup jalan di ibu kota menuju Zona Hijau dengan balok beton besar. “Kami di sini untuk revolusi,” kata pengunjuk rasa Haydar al-Lami. “Kami tidak ingin koruptor. Kami tidak ingin mereka yang berkuasa kembali. Sejak 2003 mereka hanya merugikan kami.”
Sebelumnya, hari Rabu lalu, pendukung Muqtada al-Sadr menyerbu gedung parlemen Iraq di Zona Hijau yang berkeamanan tinggi. Zona Hijau yang dijaga ketat, merupakan rumah bagi gedung-gedung pemerintah dan misi diplomatik asing.
Demonstrasi ini adalah tantangan terbaru bagi Iraq yang kaya minyak, yang tetap terperosok dalam krisis politik dan sosial ekonomi meskipun harga energi global meningkat.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Seperti dikutip dari BBC, Aliansi politik Muqtada Al-Sadr telah memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan umum Oktober lalu. Sekitar 10 bulan kemudian kebuntuan tetap ada selama pembentukan pemerintahan baru.
Sadr merupakan tokoh Syiah yang menentang intervensi Amerika di Iraq dan mengklaim kemenangan gerakan nasionalis Saeroun setelah pemilihan di bulan Oktober. Dia dan pendukungnya juga menentang pencalonan pesaingnya Mohammed al-Sudani sebagai perdana menteri, karena dinilai terlalu dekat dengan Iran.*