Hidayatullah.com—Pemimpin China Xi Jinping mengunjungi Arab Saudi minggu ini untuk pertama kalinya dalam hampir tujuh tahun. Namun “perjanjian kemitraan strategis” itu dinilai tidak lebih untuk kepentingan minyak, demikian analisis wartawan untuk CNN Business, berbasis di Hong Kong, Laura He.
“Kunjungan itu adalah tanda bahwa China dan kawasan Teluk sedang memperdalam hubungan ekonomi mereka pada saat hubungan AS-Saudi hancur karena keputusan OPEC untuk memangkas pasokan minyak mentah,” ujar Laura dalam kolomnya yang dimuat di laman CNN.
Menurut kantor berita resmi Saudi Press Agency (SPA), dalam pertemuan itu, perjanjian kemitraan ditandatangani oleh kedua belah pihak, mencakup sejumlah kesepakatan dan nota kesepahaman, seperti tentang energi hidrogen dan peningkatan koordinasi antara Visi Kerajaan 2030 dan Inisiatif Sabuk dan Jalan China (Belt and Road Initiative). Hanya saja, kata Laura, tidak ada rincian spesifik tentang hal ini.
Menurut Laura, China adalah mitra dagang terbesar Arab Saudi dan juga pembeli minyak terbesar di dunia. Arab Saudi adalah mitra dagang terbesar China di Timur Tengah dan pemasok minyak mentah global terbesar.
“Kerja sama energi akan menjadi pusat dari semua diskusi antara kepemimpinan Saudi-China,” kata Ayham Kamel, kepala tim peneliti Timur Tengah dan Afrika Utara Grup Eurasia.
“Ada pengakuan besar atas kebutuhan untuk membangun kerangka kerja guna memastikan bahwa saling ketergantungan ini diakomodasi secara politis, terutama mengingat ruang lingkup transisi energi di Barat,”tambahnya.
Laura membeberkan,tahun lalu, perdagangan bilateral antara Arab Saudi dan China mencapai $87,3 miliar, naik 30% dari tahun 2020, menurut angka bea cukai China.
Impor minyak mentah China dari Arab Saudi mencapai $43,9 miliar pada tahun 2021, terhitung 77% dari total impor barang dari kerajaan tersebut. Jumlah itu juga merupakan lebih dari seperempat total ekspor minyak mentah Arab Saudi.
“Stabilitas pasokan energi, baik dari segi harga maupun kuantitas, merupakan prioritas utama bagi Xi Jinping karena ekonomi Tiongkok masih sangat bergantung pada impor minyak dan gas alam,” tulis Laura mengutip Eswar Prasad, seorang profesor kebijakan perdagangan di Universitas Cornell.
Pada Kongres Partai ke-20 di bulan Oktober, Xi menekankan bahwa memastikan keamanan energi adalah prioritas utama. Komentar itu muncul setelah serentetan kekurangan daya yang parah dan melonjaknya harga energi global menyusul invasi Rusia ke Ukraina.
Harga minyak telah jatuh kembali ke posisi sebelum perang Ukraina di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi global yang tajam. Sejauh mana ekonomi China dapat meningkat tahun depan akan memiliki pengaruh besar pada seberapa buruk kemerosotan itu.
Di luar keamanan pasokan, Arab Saudi dapat menawarkan Beijing hadiah lain dengan konsekuensi geopolitik yang lebih besar. Riyadh telah melakukan pembicaraan dengan Beijing untuk menentukan harga sebagian penjualan minyaknya ke China dalam mata uang China, yuan, bukan dolar AS, menurut laporan Wall Street Journal.
“Kesepakatan seperti itu bisa menjadi pendorong ambisi Beijing untuk memperluas pengaruh global mata uang China,” tambahnya.*