Hidayatullah.com—Seolah kesedian tak berujung, itulah kira-kira nasib etnis Muslim Rohingya. Kabar terbaru menunjukkan ratusan ekstrimis Budha melakukan aksi demonstrasi memprotes rencana pemerintah yang akan memberikan kewarganegaraan kepada sejumlah etnis minoritas di negara itu.
Hari Ahad sore, ratuan biksu dan anggota partai utama Rakhine, Partai Nasional Arakan menuntut kepala imigrasi ditangkap karena mengeluarkan kartu identifikasi Nasional untuk komunitas etnis minoritas Rohingya.
Penyelenggara demonstrasi, Aung Htay menegaskan penolakan atas rencana pemerintah yang akan memberikan hak kewarganegaraan kepada etnis Muslim Rohingya.
“Kami berdemo untuk mengatakan kepada pemerintah agar sepenuhnya menaati UU Kewarganegaraan 1982. Kami tidak mengizinkan pemerintah memberikan kewarganegaraan bagi imigran ilegal,” ujar Aung Htay, penggagas demonstrasi seperti dikutip dari Associated Press, Selasa (21/3/2017).
Baca: Pidato Biksu Ashin Yang Memicu Kebencian Pada Muslim Rohingya
Aung Htay, penyelenggara aksi ini di Sittwe mengatakan, ada 53 warga ‘Bengali’ (sebutan mereka untuk etnis Muslim Rohingya) telah diterbitkan kartu identifikasi nasional oleh departemen imigrasi di bawah program verifikasi kewarganegaraan baru. Ia mengklaim bahwa pejabat berencana memberi kartu kewarganegaraan sekitar 200 orang tanpa pengecualian dari komunitas Muslim.
“Departemen Imigrasi mengeluarkan kartu identitas nasional pada warga Bengali tanpa benar-benar meneliti mereka di bawah 1982 UU,” katanya. “Lima puluh tiga orang ini telah diberikan kewarganegaraan sejak akhir bulan lalu menurut sebuah pengumuman resmi, dan kami memiliki informasi yang solid bahwa pejabat berencana untuk mengeluarkan 200 lebih,” ujarnya dikutip laman Democratic Voice of Burma (DVB).
Arakan National Council menyatakan Rohingya sebagai kaum Bangladesh. Tahun 2014 Myanmar bahkan melarang sebutan Rohingya, tapi kaum Bengali.
UU Kewarganegaraan 1982 mendefinisikan bahwa warga negara adalah kelompok etnis yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu adalah tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar. Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar ini mencoret Rohingya dari kelompok minoritas yang diakui pemerintah.
Baca: Biksu dan Ekstrimis Buddha Rakhine Protes Adanya Bantuan Pada Etnis Rohingya
Pemerintahan diktator Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnis yang telah memenuhi persyaratan — tidak ada Rohingya dalam daftar ini. Data inilah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.
Berbicara kepada DVB di Sittwe, hari Ahad, Aung Htay menambahkan, “Ini benar-benar tidak beralasan. Itulah mengapa kita di sini hari ini, berdemonstrasi. ”
Partai Nasional Arakan (ANP) adalah partai mayoritas warga Budha Myanmar. Etnis Rohingya menghadapi diskriminasi parah di negara mayoritas penduduk Budha Myanmar yang menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh, meskipun sudah berada di Myanmar sejak beberapa generasi.
Aksi protes ini berselang tiga hari setelah Komisi Penasihat Rakhine (RAC) yang dipimpin mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mendesak pemerintah yang dikuasai Liga Nasional Demokrat (NLD) untuk segera memberikan kewarganegaraan pada warga Rohingya dan segera menutup kamp penjara warga Rohingya agar mereka bebas bergerak.
“Kami juga mempertanyakan soal kewarganegaraan. Kami juga menyerukan agar semua warga yang telah memiliki kewarganegaraan diberikan seluruh haknya,” tutur Ghassan Salame, anggota RAC.
Pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi menyambut baik usulan tersebut. Kantor Suu Kyi mengatakan, sebagian rekomendasi RAC ini akan “segera dilaksanakan”.
Sebelumnya, dua tahun lalu, pemerintah Myanmar telah menyita kartu putih atau kartu identitas penduduk warga Rohingya. Langkah ini dinilai sebagai upaya penerapan kembali UU Kewarganegaraan 1982 sekaligus mengusir mereka dari Rakhine.
Ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari kampung halaman mereka di Rakhine ke Bangladesh sejak kekerasan sektarian terjadi pada 2012. Rakhine, salah satu wilayah termiskin di Myanmar, menjadi rumah bagi 1 juta warga Rohingya.*