Hidayatullah.com–Pada sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR AM Fatwa yang berlangsung kemarin, sembilan fraksi yang ada di DPR memberikan tanggapan cukup dinamis dan positif tentang RUU ini. Di samping mereka menyampaikan beberapa harapannya terhadap RUU Wakaf. “Kami berharap RUU ini bisa ditandatangani oleh presiden sebelum 20 Oktober 2004,” ujar juru bicara Fraksi Partai Golkar Irsyad Sudiro. Setelah ditandatangani presiden, kata HM Nuril Huda, juru bicara Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), pemerintah harus segera menyosialisasikan UU ini kepada masyarakat secepat mungkin. Apalagi momentum saat ini mendekati bulan Ramadan, di mana aktivitas keagamaan umat Islam sedang meningkat. Dengan sosialisasi yang cepat dan intens, maka masyarakat bisa menggunakan UU ini sebagai landasan hukum positif dalam bidang wakaf. Sementara itu, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) melalui juru bicaranya Sahrudi Tandjung mengungkapkan, wakaf sebagai pranata keagamaan harus benar-benar diorientasikan kepada kepentingan umat. Oleh sebab itu, manajemen yang dilakukan oleh Badan Wakaf Nasional yang akan dibentuk oleh pemerintah, harus menggunakan prinsip efektif dan efisien. Sahrudi Tandjung memaparkan lebih jauh bahwa kemajuan pengelolaan wakaf di Indonesia akan berhasil jika memperhatikan tiga aspek. Yakni, transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas publik. Dengan ketiga aspek itulah wakaf menjadi Lembaga Wakaf Nasional mampu mengelola aset secara profesional, amanah, dan memajukan perekonomian umat di masa depan. “Untuk itulah dibutuhkan Lembaga Wakaf Nasional yang independen dan mandiri. Tidak bisa diintervensi oleh kalangan dan kepentingan apa pun, kecuali kepentingan umat,” tegas Sahrudi. Semua fraksi pun sepakat adanya UU Wakaf ini akan membantu penertiban dalam aspek administrasi wakaf yang sudah berjalan sejak lama dalam masyarakat Islam Indonesia ini. Mereka juga sependapat bahwa UU ini menjadi hukum positif yang bisa menyelesaikan berbagai kasus atau sengketa yang kerap muncul dalam permasalahan wakaf ini. Mulai dari pemberi wakaf (nadzir), pengelolaan, dan pengalihan aset wakaf. Menurut Nuril Huda, dengan adanya UU Wakaf maka berbagai sengketa tentang harta wakaf yang sering terjadi, memiliki rujukan untuk menyelesaikannya. Selama ini, sengketa harta wakaf merujuk pada UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga permasalahan terkadang tidak tuntas. Dengan adanya UU Wakaf diharapkan semua permasalahan yang berkaitan dengan semua aspek perwakafan dapat diselesaikan. Menyambut disahkannya RUU Wakaf oleh DPR, Menteri Agama (Menag) Said Agil Husin Al Munawar dalam sambutannya mengemukakan, langkah awal yang harus dipersiapkan pemerintah adalah, pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagaimana diamanatkan Bab VI pasal 47. “BWI diharapkan memberi arah pengelolaan, pengembangan, dan pembinaan wakaf secara profesional, produktif dan untuk kepentingan umat. Adanya BWI akan sangat mendukung terciptanya pengembangan ekonomi bangsa ini sekaligus mendorong tumbuhnya kesejahteraan masyarakat,” tambah Menag. Menag melanjutkan, aspek pemberdayaan dan pengembangan benda wakaf selama ini belum optimal. Penyebabnya adalah pandangan umat Islam masih konservatif terhadap wakaf, khususnya benda wakaf yang tidak bergerak. Makanya dalam UU Wakaf ini ditekankan pengembangan dan pemberdayaan benda-benda wakaf yang memiliki potensi ekonomi tinggi untuk kesejahteraan masyarakat banyak. “Terobosan yang paling signifikan dalam UU ini adalah aturan tentang benda wakaf bergerak, seperti uang, saham, surat-surat berharga, dan hak intelektual. Semua benda bergerak tersebut merupakan variabel penting dalam pengembangan ekonomi yang tidak boleh dibelanjakan untuk kepentingan konsumtif, tetapi berorientasi pada produktivitas. Karena pemanfaatan secara konsumtif bertentangan dengan konsep dasar wakaf itu sendiri,” tegas Menag. (media Indonesia)