Rabu, 16 November 2005
Hidayatullah.com—Pernyataan ini disampaikan Kepala Divisi Informasi Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) B Guntarto kepada Media di sela acara workshop Meningkatkan Kualitas Program TV untuk Anak dan Remaja di Sukabumi, Selasa (15/11).
Guntarto menjelaskan, berdasarkan riset yang dilakukan pihaknya, disimpulkan televisi di Indonesia sangat tidak bersahabat dengan anak-anak dan remaja.
Pasalnya, tayangan berbau mistis, seks dan kekerasan tidak hanya ditayangkan pada program untuk dewasa. Namun juga, sangat mudah ditemui pada tayangan yang ditujukan pada anak dan dewasa.
"Secara general, 95% tayangan kita sangat berbahaya. Ini sangat memprihatinkan. Televisi kita jauh lebih parah dibandingkan negara tetangga kita, bahkan lebih rusak dari Amerika Serikat (AS). Setidaknya mereka masih punya aturan, sementara kita tidak punya aturan, bebas sebebas-bebasnya," kata Guntarto.
Guntarto menuturkan, hingga saat ini belum ada aturan disertai sanksi jelas pada stasiun televisi yang menayangkan program berpotensi berpengaruh negatif pada penontonnya. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) yang ditetapkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) belum dilengkapi sanksi rinci.
Akibatnya, lanjut Guntarto, hingga kini belum ada satu pun stasiun televisi yang dapat dijerat hukum karena menayangkan program yang merusak mental penontonnya. Kondisi itu membuat pihak stasiun televisi dapat dengan bebas menayangkan program apapun tanpa perlu khawatir terkena dampak hukum apapun.
Sebenarnya, lanjut Guntarto, secara kuantitatif, jumlah tayangan yang ditujukan untuk anak dan dewasa telah mencukupi yaitu 10% dari total jam tayangnya. Bahkan, beberapa stasiun televisi mengalokasikan waktu lebih dari 30%. Namun, hal itu lebih didasari oleh pertimbangan bisnis. Sehingga kualitas tayangan tidak menjadi pertimbangan utama.
"Idealnya anak dan remaja menonton televisi tidak lebih dari dua jam setiap harinya. Tapi, tentunya dengan pilihan tayangan yang bukan cuma menjadi sarana hiburan, namun juga pembelajaran," kata Guntarto.
Guntarto juga menegaskan, kenyataannya, tayangan yang ditujukan untuk anak dan remaja tidak sepenuhnya ditujukan pada penonton muda usia. Sebagian besar tayangan hanya dibalut dengan kemasan yang terkesan tayangan anak dan remaja namun jalinan cerita yang ditayangkan sangat tidak bersahabat bagi anak dan remaja.
Belum serius
Hal senada diakui Sekretaris Perusahaan RCTI Gilang Iskandar. Ia mengaku, sebagian besar stasiun televisi belum menggarap tayangan anak dan remaja dengan serius. Pasalnya, secara komersial tayangan untuk kedua golongan usia tersebut masih dianggap tidak potensial secara bisnis. Sehingga, sebagai jalan pintas tayangan impor berupa kartun dipandang sebagai solusi instan untuk menghadirkan program untuk anak. Sedangkan untuk remaja, drama serial impor juga menjadi pilihan yang dianggap efisien dan praktis.
"Kami akui televisi juga berupaya menjaring penonton anak dan remaja pada tayangan yang ditujukan untuk dewasa. Misalnya, pada sinetron yang dipasang pada prime time. Ini jelas menguntungkan, semua segmen teraup," kata Gilang.
Kondisi serupa juga terjadi di TPI. Manajer Program TPI Sribudi Santosa mengungkapkan memang masih banyak program televisi yang samar-samar, tak jelas segmen penontonnya.
"Sebagai solusi, memang sulit menayangkan program idealis murni. Yang bisa dilakukan menayangkan program dengan ide bagus tapi kemasannya harus bersahabat dengan pasar dan rating. Unsur rating serta komersial memang masih menjadi proritas," kata Sribudi.
Sebagai langkah praktis yang dapat ditempuh masyarakat, kata Guntarto, orang tua harus disiplin menerapkan diet televisi. Membatasi jam menonton dan menyeleksi tayangan.
Sedangkan sebagai langkah advokasi, lanjut Gunarto, masyarakat dapat mengartikulasikan protesnya terhadap tayangan yang merusak dengan berbagai cara. Langkahnya mulai dari pemboikotan, mengirim surat protes, surat pembaca hingga menggalang kekuatan publik untuk menekan stasiun.
"Tahun lalu, kami berhasil menghentikkan sinetron Bunglon di SCTV, memang perlu kerja keras. Sekarang kami perlu bergerak untuk mendorong program anak dan remaja yang berkualitas dan tentunya menggerakkan genderang perang pada program yang merusak. Yang terdekat, sinetron Akibat Pergaulan Bebas yang bukan cuma merusak tapi juga membahayakan," kata Guntaro. (MI)