Hidayatullah.com– “Kita bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan ilmu yang menjadi sumber kerusakan dalam kehidupan modern ini. Umat Islam tidak boleh berdiam diri atas kondisi ini. Kita mesti merebut kembali otoritas ilmu yang hari ini dihegemoni Barat,” demikian papar Prof. Dr. Abudin Nata dalam seminar “Islamization of Higher Education: Models and Experiences in Muslim Worlds” di Universtas Ibn Khaldun Bogor.
Seminar pada hari pertama membahas tentang peradaban Barat yang menjadi sumber destruktif (perusak) kehidupan umat Islam di seluruh dunia.
Selain itu, hadir pula pakar psikologi Islam internasional, Prof. Malik Badri dari Sudan. Ia mengatakan, Barat hari ini adalah peradaban yang tidak lagi memanusiakan manusia.
“Barat sekarang dengan sekularisasinya telah bergerak melampaui batas. Ilmu yang dikembangkan bukannya memanusiakan manusia malah sebaliknya yakni menghewankan manusia. Lebih buruk lagi manusia dipisahkan dari kodratnya, sehingga terciptalah kultur di mana manusia tak ubahnya mesin yang terus-menerus bekerja dan bekerja dan tidak lagi mengenal Tuhan,” paparnya.
Sementara itu Dr. Malik Thoha memberikan analisanya bahwa sekularisasi di Barat adalah sebuah kewajaran sejarah dan teologi. Bahkan jika Barat tidak melakukan sekularisasi bisa jadi Barat akan tetap menjadi bangsa yang termarginalkan.
“Sekularisasi itu adalah kewajaran bagi barat berdasarkan latar belakang sejarah dan teologi mereka. Mereka tidak mungkin sanggup berkembang seperti sekarang jika tidak melakukan rasionalisasi dan sekularisasi,” ungkap pakar pluralisme dan pengurus NU Malaysia ini.
Meskipun demikian, Malik yang juga peneliti INSISTS itu mengatakan bahwa sekularisasi tidaklah relevan jika diterapkan dalam tradisi umat Islam.
“Berbeda dengan Islam. Kita sama sekali tidak membutuhkan yang namanya sekularisasi. Kalau hari ini ada beberapa sarjana Muslim yang terkontaminasi ya itu akibat dari ketidakmampuan memahami masalah secara tepat. Menurut Ibn Khaldun, bangsa yang memiliki mental terjajah cenderung akan meniru gaya bangsa yang menjajah,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Kabuyee Uthman Sulaeman dari Uganda menjelaskan dengan panjang lebar tentang perlunya umat Islam kembali memperhatikan masalah ilmu.
“Sejak awal Allah SWT telah menjelaskan urgensitas ilmu. Hal ini bisa dilihat dari dialog antara Allah SWT dengan para malaikat ketika hendak menciptakan Nabi Adam. Dan, banyak lagi ayat dan hadis yang menjelaskan masalah-masalah ilmu,” jelasnya.
Bahkan Dr. Mohammad Azazi dari Mesir menjelaskan, jika umat Islam ingin bangkit maka sudah semestinya mengikuti jejak Nabi Muhammad saw bersama para sahabatnya yang begitu cinta terhadap ilmu karena pemahamannya terhadap al-Qur’an.
“Kita harus memahami sejarah peradaban Islam yang akan mendorong kita untuk mencintai ilmu. Sebba awal kalimat yang diterima rasulullah saw sebagai wahyu pertama adalah kalimat iqra’, membaca. Jadi awal kebangkitan Islam dijiwai oleh spirit ilmu sebagaimana kandungan surah al-‘Alaq itu. Kalau ingin maju ya ilmu,” jelasnya dengan penuh semangat.
Pada sesi terakhir, Dr. Adian Husaini menegaskan bahwa dalam situasi sekarang umat Islam harus bersatu untuk berupaya melakukan Islamisasi secara kaffah.
“Membangun kembali budaya ilmu yang sesuai dengan worldview Islam tentu bukan hal mudah, banyak tantangan yang menghadang. Tetapi menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk melakukan islamisasi sains di kampus-kampus. Dengan cara itulah umat Islam akan mampu memegang kembali otoritas keilmuan dunia,” pungkasnya.*