oleh: Kholili Hasib
PENJELASAN mengenai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada umat menjadi penting, sebab ini dilakukan demi merajut ukhuwah kelompok Ahlus Sunnah (Sunni), memantapkan dan meluruskan pemahaman, memadamkan fitnah, serta membentengi diri dari akidah di luar Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sebenarnya konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini telah mapan di kalangan ulama dahulu – yang semestinya saat ini tidak memerlukan perdebatan panjang mengenai siapa yang disebut kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu. Hanya saja umat Islam perlu memahami kembali akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam konteks sekarang ini – dengan tujuan untuk lebih memantapkan pemahaman kita terhadap akidah, pemikiran dan tantangannya. Hal ini penting, sebab bisa terjadi seseorang mengaku Sunni, tetapi di luar pengetahuannya ia sebenarnya bukan pengikut Sunni sejati.
Identitas sebagai kelompok Sunni terkadang diperebutkan, terkadang pula disempitkan konsepnya. Identitas ini diperebutkan, sebab kelompok ini yang disebut para ulama dahulu sebagai kelompok yang setia memegang ajaran Islam. Karena pandangan yang terlalu riqid dan sentimen kepada kelompok lain, sehingga konsep Ahlus Sunnah kadang dipersempit untuk ‘jama’ah’-nya sendiri.
Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa, golongan yang selamat (al-firqah al-najiyah) adalah golongan yang disebut oleh Nabi Muhammad dengan sebutan al-jama’ah. Dalam riset para para mutakallimun (teolog Islam) terdahulu menyimpulkan bahwa kelompok al-jama’ah ini lah yang disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ciri, ideologi, dan ajaran-ajarannya sangat tepat disematkan kepada kelompok Aswaja ini, dari pada kelompok-kelompok (firqah) lainnya.
Perbedaan di antara kaum muslimin itu sesuatu yang wajar, akan tetapi penyimpangan akidah itu yang tidak boleh dibiarkan. Sebab, semua ulama Ahlus Sunnah sepakat dalam perkara-perkara ushul,tapi berbeda dalam furu’. Mereka diperboleh berbeda dalam urusan fiqhiyyah tapi tidak bisa didiamkan jika berdebat dalam urusan ‘aqa’idiyyah (Mafhum Ahlus Sunnah, hal. 25). Oleh sebab itu, seorang Sunni tidak membesar-besarkan urusan furu’iyyah.
Membesar-besarkan persoalan yang tidak prinsipil – agar umat Islam terpecah-pecah – adalah salah satu agenda orientalis. Sebagaimana diakui sendiri oleh tokohnya Montgomery Watt (Jurnal Islamia hal. 14 no 3 Desember:2005) Jika umat Islam berselisih, akan mudah untuk ditaklukkan oleh Orientalis.
Berkenaan dengan klaim Ahlus Sunnah, kita harus mengkoreksi diri secara jujur dan ilmiah (merujuk pada ulama’-ulama’ mujtahid yang diakui dan disepakati oleh ijma’). Apakah termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah atau bukan, apakah telah menjadi seorang Sunni yang baik atau fasiq.
Secara sederhana, parameter ke-Ahlus Sunnah wal Jamaah-an seseorang dapat dilihat dari komitmennya pada Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Keistiqamahan mengikuti parameter ini diwujudkan dengan menganut kepada salah satu Imam madzhab empat – Imam Maliki, Hambali, Syafii dan Hanafi. Di luar itu, bukan termasuk pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Oleh karenanya patutlah kita memegang erat-erat akidah ini, lebih-lebih saat ini yang semakin banyak muncul aliran-aliran sempalan.
Sebagaimana yang telah disabdakan Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), bahwa umat Islam kelak akan terpecah menjadi 73 golongan, kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan dan Nasrani terpecah belah menjadi 72 golongan. Di antara 73 golongan tersebut hanya satu yang selamat yaitu golongan al-jamaah (HR. Turmudzi, abu Dawud, dan Ahmad). Hadis ini selain shahih juga mutawatir. Syaikh Abdul Qahir al-Baghdadi menyebut bahwa hadis iftiraq ini diriwayatkan oleh banyak perawi, seperti Anas bin Malik, Abu Huroiroh, Abu Darda’, Jabir, Abu Said al-Khudri, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar bin Ash dan para Khulafa al-Rasyidun juga meriwayatkan hadis ini.
Golongan al-Jama’ah inilah yang saat ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dalam riwayat lain Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) menyatakan bahwa golongan yang selamat al-Firqah al-Najiyah adalah mereka yang mengikuti Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan para sahabatnya. Kemudian Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) memberi petunjuk bahwa golongan yang selamat ini adalah golongan yang terbanyak (al-Sawad al-‘Adzam). Dan hingga sekarang Ahlus Sunnah Wal Jamaah menjadi golongan terbanyak. Jumlah pengikut Sunni mendominasi semua negara-negara muslim di dunia – terkecuali Iran dan Iraq yang mayoritas penduduknya penganut Syiah.
Dalam suatu riwayat Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) menyebut akan datang golongan dari umatnya yang perbuatannya sangat bertentangan dengan ajarannya. Syeikh Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam Al-Farqu Bayna al-Firaq mengidentifikasi, bahwa umumnya golongan sesat di luar Alus Sunnah Wal Jama’ah selalu mencaci sahabat. Misalnya, Qadariyah mencerca sahabat Ibnu Mas’ud dan mencaci fatwa Umar, Ali dan Usman – disebabkan fatwa-fatwa dan hadis yang diriwayatkannya bertentangan degan akidah Qadariyah terutama dalam masalah takdir.
Golongan Khawarij mengkafirkan Ali, kedua putranya (Hasan dan Husein), Ibnu Abbas, Abu Ayyub al-Ansari, Usman, ‘Aisyah, Talhah dan Zubeir. Bahkan Syi’ah mengkafirkan hampir semua sahabat kecuali Ali, Hasan, Husein, Salman al-Farisi, Migdad, dan Abu Dzar al-Ghifari. Sementara firqah lainnya seperti Jahmiyah, Najjariyah dan Bakariyah juga menentang pendapat beberapa sahabat.
Hal ini berbeda dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Para Ulama’nya sepakat bahwa semua sahabat adalah adil. Mereka selalu mengikuti jalan Rasulullah. Dalam suatu hadist disebutkan salah satu ciri golongan yang selamat adalah konsisten mengikuti ajaran Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan sahabatnya.
Al firqah al-najiyah
Di antara ciri-ciri yang lain al-firqah al-najiyah yang disebut al-Baghdadi di antaranya adalah:
1. Mengakui dan mengimani sepenuhnya bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya.
2. Mengakui dan mengimani bahwa nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) sebagai Nabi-Nya.
3. Mengakui dan mengimani bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah SWT dan bukan makhluk seperti anggapan muktazilah, orientalis dan Islam Liberal.
4. Mengakui dan mengimani bahwa Al-Qur’an yang benar adalah Mushaf Utsmaniy, yaitu Al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam ini, bukan Al-Qur’an Fathimah sebagaimana diyakini Syi’ah dan bukan pula Tadzkirah (Al-Qur’an yang diyakini agama Ahmadiyah.
5. Tidak menambah, mengurangi, merobah atau memalsukan Al-Qur’an atau membuat Al-Qur’an Sendiri.
6. Menerima dan mengakui serta menjadikan hadis Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), sebagai landasan hukum yang ke-dua setelah Al-Qur’an dan tidak pula mengingkari.
7. Mengimani dan mempercayai bahwa Rukun Islam yang benar ada lima dan menolak segala bentuk Rukun Islam buatan manusia.
8. Mengimani dan meyakini bahwa Rukun Iman yang benar ada enam dan menolak segala bentuk Rukun Iman palsu.
9. Mengimani dan meyakini bahwa ibadah Haji umat Islam adalah di Baitullah (Ka’bah) Makkah al-Mukarramah. Dan menolak segala anggapan yang mengatakan bahwa tempat Ibadah Haji selain di Makkah adalah di Qum (Teheran Iran) di Lahore (India) dan tempat-tempat lainnya.
10. Mengimani dan meyakini bahwa Allah SWT mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang patut bagi kebesaran-Nya, dan menolak segala anggapan yang mengatakan bahwa Allah SWT tidak mempunyai sifat dan nama-nama. Dan bahkan ada di antara mereka yang mengharamkan membaca sifat-sifat Allah SWT.
11. Mengimani dan meyakini bahwa nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah nabi terakhir penutup para nabi dan rasul dan menolak semua nabi-nabi palsu.
12. Mencintai dan menghormati keluarga Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) (Ahlul Bait) secara wajar dan proposional.
13. Mencintai dan menghormati sahabat Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) termasuk kepada Khalifah yang emat secara wajar, tidak berlebihan dan tidak membenci salah satu di antara mereka dan mengkultuskan yang lainnya.
14. Mengimani dan mempercayai bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), Isra’ dan Mi’raj dengan jasad dan ruh.
15. Mengimani dan meyakini adanya siksa dan nikmat kubur.
16. Mengimani dan meyakini adanya hari kebangkitan.
17. Mengimani dan meyakini adanya Shirat (sebuah jembatan atau titian yang melintang di atas neraka Jahannam). Dan menolak segala anggapan kaum orientalis, skularis, Islam Liberal – yang mengatakan bahwa Shirat itu tidak ada.
18. Mengimani dan meyakini adanya Mizan (Timbangan amal manusia di akhirat kelak).
19. Mengimani dan meyakini ada dan telah adanya surga dan neraka, serta menolak anggapan muktazilah yang mengatakan bahwa surga dan neraka tidak ada dan tidak akan pernah ada.
20. Mengimani dan meyakini bahwa Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga di akhirat kelak.
21. Mengimani dan meyakini bahwa umat Islam dari umat Nabi Muhammad bila telah meninggal dunia masih mendapat manfaat dari amal perbuatannya semasa hidup dan amal orang lain yang pahalanya dihadiahkan kepadanya.
22. Tidak membuat syari’at atau ajaran agama sendiri dengan mengatasnamakan Islam, dan menjadikan pemimpin alirannya sebagai nabi atau mempunyai otoritas kenabian atau bahkan menganggapnya mempunyai otoritas ketuhanan.
Secara garis besar, kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah dibagai menjadi tiga kelompok besar. Yaitu al-Atsariyyah, al-‘Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Imam al-Safarini menyatakan bahwa pemimpin kelompok Al-Atsariyyah ini adalah Imam Ahmad bin Hambal. Al-‘Asyariyah dipimpin oleh Imam Abu Hasan al-‘Asyari, dan al-Maturidiyyah imamnya adalah Abu Mansur al-Maturidi (Mafhum Ahlus Sunnah, hal. 39-40).
Sebagai al-firqah al-Najiyah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak stagnan pada konsep-konsep teologis. Tapi, Ahlus Sunnah secara dinamis berjalan sebagai ajaran murni yang berkembang sesuai tantangan dan bidang-bidang furu’iyah. Hal inilah yang menyebabkan ulama Ahlu Sunnah terbagi menjadi beberapa macam sesuai dengan bidang dan tantangan yang dihadapi.
Bidang dan tantangan ulama Ahlus Sunnah
Pertama, ulama yang menekuni bidang tauhid, nubuwah, hukum-hukum akhirat (ancaman, pahala dan siksa). Mereka juga menekuni ilmu Kalam yang murni dari kesesatan.
Kedua, para ahli fikih dan hadis, diantaranya Imam Maliki, Hambali, Syafi’i, Hanafi, Imam Auza’I dan Imam Sofyan al-Tsauri.
Ketiga, ulama yang menekuni Ilmu sadad hadis dan menimbang antara hadis shahih dan tidak shahih.
Keempat, ulama yang khusus menekuni bidang gramatika Bahasa Arab dan Sastra seperti Imam Sibawaih, Khalil bin Ahmad, Abu Umar bin al-‘Ala, Imam Fara’ dan al-Akhfash.
Kelima, ulama yang Ahli ilmu baca al-Qur’an dan tafsirnya, seperti Ibnu Katsir, Imam Qurtubi, Imam Hafs, Imam Ashim dan lain-lain.
Keenam, para ahli tasawuf dan mendalami ilmu hati dan akhlak seperti al-Ghazali, Imam Junaid, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain.
Ketujuh, para ulama yang konsern terhadap jihad membela kaum muslimin.
Mereka semua adalah berakidah Ahlus Sunnah. Hanya saja, bidang kajian mereka berbeda-beda. Para ulama’ tersebut di atas berbeda dalam hal masalah furu’iyah dan semuanya mempunyai pandangan satu dalam bidang ushul (akidah) – sebab mereka beriltizam (komitmen) terhadap al-Qur’an, Hadis, Ijma dan Qiyas. Karena ini adalah prinsip yang terpelihara.
Berkenaan dengan itu, ke- Ahlus Sunnah wal Jamaah-an seseorang tidak selalu identik dengan keanggotaannya pada suatu kelompok, golongan dan organisasi tertentu. Memang banyak organisasi yang menyatakan diri sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tetapi, hal itu bukanlah berarti yang tidak masuk organisasi itu kemudian secara otomatis dan pasti diklaim sebagai bukan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebaliknya tidak semua yang masuk ke dalam organisasi itu, otomatis menjadi seorang Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang seratus persen baik.*
Penulis adalah peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya, alumnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID Gontor