Hidayatullah.com–Pendidikan di Indonesia kurang mampu menghasilkan peserta didik yang kreatif dan manusiawi, karena miskin dengan nilai-nilai seni.
“Kondisi itu melahirkan anak-anak muda yang pintar, tetapi tidak mampu menggunakan kepintarannya untuk kemaslahatan masyarakat, cenderung egois, dan tidak mampu bekerja sama,” kata pakar pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta, Sabar Nurohman di Yogyakarta, Ahad (15/04/2012).
Menurut dia, hal itu disebabkan dunia pendidikan selama ini lebih banyak sekadar mengolah otak kiri, terbukti dari pilihan mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN).
“Jika kita cermati, justru kebayakan orang sukses bukan mereka yang pintar di kelas-kelas eksakta, karena dunia agaknya lebih menghargai mereka yang kreatif daripada mereka yang pintar,” katanya dikutip Antara di sela-sela pelatihan Soft Skill Kreativitas bagi Mahasiswa FMIPA UNY.
Ia mengatakan, jika gaji profesor di Indonesia sekitar Rp13 juta per bulan, maka orang-orang seperti Tukul Arwana dan Iwan Fals sekali “manggung” tarifnya jauh lebih besar.
“Profesor saya anggap sebagai representasi kecerdasan otak kiri, sedangkan Tukul Arwana dan Iwan Fals mewakili kecerdasan kreativitas,” kata dosen Program Studi Pendidikan IPA FMIPA UNY itu.
Berdasarkan penelitian, otak kiri mengendalikan kemampuan verbal, angka, penulisan, sains, rasional, dan pengendali anggota gerak tubuh sebelah kanan (tangan dan kaki kanan).
Otak kanan mengendalikan kemampuan di bidang seni, kreativitas, memahami pengertian yang mendalam, bentuk tiga dimensi, dan pengendali organ gerak tubuh bagian kiri (tangan dan kaki kiri).
“Hingga saat ini sekolah, guru, dan masyarakat pada umumnya masih terbelenggu oleh paradigma lama tentang kecerdasan. Orang menganggap bahwa anak yang cerdas adalah mereka yang pintar matematika, fisika, IPA atau yang sering disebut ilmu eksakta,” katanya.
Ia mengatakan, orangtua akan cenderung lebih bangga ketika anaknya berhasil memasuki Program IPA (ketika di SMA) jika dibandingkan masuk di Program IPS atau Bahasa.
“Aroma kesombongan intelektual juga diam-diam muncul dari para siswa Program IPA. Mereka menganggap dirinya lebih unggul dari teman di IPS/Bahasa,” katanya.
Menurut dia, sebagian orang menganggap bahwa kesuksesan masa depan seseorang ditentukan oleh sejauh mana kecerdasan orang tersebut. Parahnya mereka mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuannya di bidang ilmu-ilmu eksakta.
“Orang tua yang mempunyai uang akan berusaha sekuat mereka untuk membuat anaknya pintar ilmu eksakta. Mereka ada yang diikutkan les sempoa, tambahan pelajaran di berbagai lembaga bimbingan belajar atau les privat di rumah,” katanya.*