Hidayatullah.com–Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Fahmi Salim, Lc menyampaikan dukungan moralnya kepada para punggawa dakwah di kalangan pemuda, terkait kasus kritik dan cacian Rudolf Duthe, mantan manager grup band Superman Is Dead (SID) terhadap komunitas #IndonesiaTanpaJIL karena sebuah kaos bertuliskan “Pluralisme? Injak Saja!”.
Secara khusus, Fahmi menyampaikan rasa salut kepada anak-anak muda yang kreatif dalam gerakan melawan paham sekularisme, liberalism dan pluralism agama.
“Bagus, berarti gerakan dakwah kalian diperhitungkan. Jangan patah semangat. Terus mencerdaskan umat dengan mensosialisasikan kesesatan paham liberal dan masyarakatkan semangat anti Pluralisme Agama,” jelas anggota Majelis Ulama Indonesia ini kepada hidayatullah.com, Kamis (16/08/2012).
Seperti diketahui, kaos “Pluralisme?Injak Sana!” menjadi pembicaraan hangat di komunitas underground, merupakan kaos buatan komunitas Underground Tauhid. [baca juga: Tersinggung Kaos “Pluralisme”, Mantan Manajer SID, Layangkan Surat Terbuka]
Komunitas Underground Tauhid adalah gerakan dakwah remaja. Gerakan dakwah ini fokus pada pembinaan keislaman kalangan anak jalanan dan komunitas underground.
Menurut Fahmi, para pembela pluralisme sejak dulu sebenarnya memiliki kasus yang sama. Kesamaan itu adalah gagal pahamnya mereka untuk membedakan antara pluralitas dan pluralisme. Di Islam sendiri diajarkan kasih sayang dan kesiapan hidup di antara masyarakat yang beranekaragam. Karena itu, menyatakan Islam tidak bisa menerima perbedaan adalah hal yang salah dan keliru, ujarnya.
“Al-Qur’an itu selalu siap berdialog dengan perbedaan kenyakinan. Al-Qur’an hadir untuk meluruskan dan sesuai fitrah ia menyempurnakan semua kenyakinan yang ada,” jelas lelaki lulusan Al Azhar Mesir ini.
Fahmi juga menerangkan bahwa berbeda antara pluralitas dan pluralisme, yang sering tidak dipahami orang. Islam sangat mendukung pluralitas (perbedaan dan keragaman). Siap hidup dalam perbedaan kenyakinan, menghargai mereka yang Kristen dan Yahudi sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan ibadah umat Islam.
“Dari jaman Rasulullah kita sudah hidup berdampingan dengan para Nasrani dan Yahudi. Itukan bukti nilai toleransi dalam Islam itu sudah ada sejak lama. Jadi jangan ajarkan lagi kami ini mengenai itu (toleransi dan pluralitas),” jelasnya lagi.
Hanya saja, pluralitas dan pluralism itu dua hal berbeda. Pluralitas adalah konsep hidup penuh toleransi. Di mana seorang Muslim dianjurkan hidup menghargai perbedaan dengan mereka yang berbeda kenyakinan. Sementara pluralism itu, paham pemaksaan yang mencampur-adukkan akidah dan keyakinan.
“Pluralisme itu pemaksaan kehendak berlabel perbedaan. Di mana di setiap pelakunya harus mengakui pencampuradukan akidah. Ini jelas sudah merusak nilai toleransi itu sendiri,” tambah tokoh muda Muhammadiyah ini.
Gagasan-gagasan pembelaan terhadap pluralisme seperti pada kasus Rudolf Duthe ini adalah reaksioner yang dinilai dangkal. Menurutnya, argumentasi seperti Rudolf tidak lebih ingin mengaburkan aplikasi kebenaran dan membuat toleransi itu sendiri tercederai. Pasalnya Rudolf sendiri tidak bisa dibilang memiliki kapasitas intelektualitas dalam menguasai permasalahan ini.
Terakhir Fahmi mengingatkan kepada para penggerak baik di komunitas Underground Tauhid maupun di komunitas #IndonesiaTanpaJIL untuk tidak menyerah menghadapi semua serangan-serangan pemikiran. Ini adalah resiko dakwah, dan inilah nikmatnya memilih berdiri membela Islam. Fahmi juga menyarankan untuk tidak perlu meladeni berlarut-larut hal-hal seperti itu. Ia juga meminta kepada anak-anak muda tetap fokus pada pekerjaan-pekerjaan dakwah yang jalannya masih sangat panjang dan berliku-liku.*