Hidayatullah.com– Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 membuka peluang adanya pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) tunggal pada Pemilu 2019.
Menanggapi hal itu, mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof Dr Jimly Asshiddiqie menjelaskan, mekanisme Pemilihan Presiden (Pilpres) itu ada dua ronde.
Mengapa dua ronde? Karena bayangannya ada lebih dari dua capres. Ronde pertama adalah penyaringan pertama. Sedangkan ronde kedua adalah pertarungan antara pemenang pertama dan kedua.
Syarat terpilih menjadi presiden untuk ronde pertama, lanjut Jimly, adalah capres menang di atas 50 persen dan memenuhi persebaran dukungan di lebih 50 persen provinsi. Kalau sekarang ada 34 provinsi, maka capres harus menang di 18 provinsi.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mencontohkan, kalau capres mendapat dukungan 51 persen nasional dan menang di 18 provinsi, maka calon itu menang di ronde pertama.
Namun kalau calon itu mendapat dukungan 50 persen tapi menang di Jawa saja, maka calon itu harus diadu lagi di ronde kedua. Persebaran dukungan ini, kata Jimly, untuk memastikan presidennya itu bukan hanya di pulau Jawa, tapi di seluruh Indonesia.
“Maka yang diidealkan dalam Undang-Undang Dasar kita calon presiden itu lebih dari dua,” ujar Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) ini pada diskusi media bertema Kajian Konstitusi Wacana Calon Tunggal Pilpres vs Demokrasi Rusia, di Jakarta, Jumat (16/03/2018).
Jadi salah menurutnya kalau ada kebijakan yang mengidealkan calonnya hanya dua. “Tidak boleh,” tegasnya. Aturan yang membuka peluang adanya calon tunggal, kata Jimly, hanya antisipasi saja.
Ia sekali lagi menegaskan, calon tunggal itu tidak ideal. Dari segi politik pun menurutnya tidak mungkin. “Pasti akan ada dua minimal,” ucapnya yakin.* Andi