Hidayatullah.com–Terbunuhnya salah satu warga Syiah saat konflik Sampang pada 26 Agustus lalu, diduga penyebab utamanya berasal dari fatwa sesat Syiah oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim. Dugaan ini datang dari Direktur Moderat Institute, Dr. Muhsin Labib.
“Fatwa sesat MUI Jawa Timur telah menjadi license to kill atau sayembara pahala membunuh. Oleh masyarakat awam fatwa tersebut dianggap legalisasi untuk membunuh,” ungkapnya saat menjadi salah satu narasumber dalam peluncuran buku putih Syiah bertema “Menuju Kesepahaman dan Kerukunan Umat Islam” bertempat di Gedung Graha Sucofindo, Jalan Pasar Minggu, Kav 34 Jakarta Selatan, Selasa (18/09/2012) kemarin.
Tak hanya Muhsin Labib, dalam acara yang diprakarsai oleh organisasi Syiah, Ahlul Bait Indonesia (ABI) itu Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr Zainun Kamal mendukung dugaan serupa, bahwa fatwa dari MUI Jatim tentang kesesatan Syiah sebagai memicu kekerasan di Sampang.
Menurut Muhsin Labib, seharusnya sebelum MUI Jatim membuat sebuah fatwa, dijelaskan dulu mengenai fatwa tersebut dan harus ada keterbukaan kepada semua pihak.
Tidak hanya menduga, Muhsin juga menilai bahwa orang yang anti Syiah bisa menjadi ancaman bagi negara Republik Indonesia.
“Orang yang anti Syiah adalah orang yang esktrimis dan menjadi ancaman bagi negara Republik Indonesia,” tandas pria lulusan Qom, Iran ini.
PWNU dan Ulama Madura
Sebelum ini, dalam tulisan kolomnya berjudul “License to Kill” di Sindo WEEKLY, no. 27 tahun I, 6 September-12 September 2012, ia juga menuduh NU, Muhammadiyah dan ulama Madura yang tergabung dalam Badan Silaturahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA) sebagai biang kerusuhan.
“Padahal sumber masalahnya adalah fatwa pensesatan aliran Syiah yang diterbitkan oleh MUI Jatim, MUI Sampang, sikap PWNU Jatim, PW Muhammadiyah Jatim, dan beberapa ulama yang tergabung dalam BASRA,” tulisnya.
Ia juga menilai, fatwa MUI telah menjadikan orang menjadi beringas.
“Tidaklah mengherankan, bila hanya karena fatwa sesat terhadap Syiah, ratusan manusia bisa berubah menjadi beringas dan tega melakukan kekerasan. Tanpa dasar pemaknaan berlebih tentang wewenang MUI tersebut, mustahil perbuatan biadab itu,” demikian tulisnya lagi.
Menanggapi tudingan Muhsin Labib ini, Sekretaris MUI Jawa Timur Mohammad Yunus hanya tersenyum.
“Saya kasihan sama beliau, seorang doktor tapi bicaranya kurang ilmiah, “ujar Yunus kepada hidayatullah.com, Rabu (19/09/2012).
Yunus mengatakan, konflik Syiah di Sampang sudah terjadi semenjak 2003-2004. Konflik makin panas justru saat Tajul Muluk datang dari Timur Tengah. Namun kekerasan fisik baru terjadi belakangan ini, tepatnya Desember 2011 dan kedua kali pada 26 Agustus 2012.
“Lucu saja menuduh fatwa MUI Jatim sumber kekerasan, lha fatwa itu dikeluarkan baru belakangan, Januari tahun 2012. Sedang kekerasan sudah setahun lalu. Di mana hubungannya?” ujar Yunus. Lagi pula, Yunus yakin, ia (Muhsin, red) tak baca tuntas isi fatwa MUI Jatim. [baca juga: Fatwa MUI dan Pergub Direstui NU dan Muhammadiyah]
Seperti diketahui, dalam buku “Fatwa MUI Jatim tentang kesesatan Syiah” tahun 2012 di halaman 52 tentang sub bab rekomendasi disebutkan, MUI meminta umat Islam tidak melakukan tindakan anarki (kekerasan) karena hal itu dinilai bertentangan dengan Islam.
“Saya kasihan, seorang doktor tetapi bicara tanpa menggunakan data. Nanti orang lain jadi tertawa, “ tambah Yunus.*