Hidayatullah.com—Penulis buku-buku Islam yang juga dikenal seorang wartawan, Artawijaya menilai pendapat pegiat liberal Luthfie As Syaukanie yang mengatakan tidak ada negara yang maju dengan syariat Islam dinilai sangat dangkal. Bagi Artawijaya pada faktanya negara seperti Amerika Serikat (AS) sendiri penuh dengan kesenjangan ekonomi meski telah memilih jalan sekuler. Kemajuan sebuah negara seharusnya dinilai seberapa besar kemakmuran dirasakan oleh rakyat di negara tersebut.
Buktinya menurut Arta, di Arab Saudi hingga Mesir angka kemiskinan sangat minim dibanding negara yang menggunakan sistem sekuler seperti AS dan Indonesia sendiri. Arta menilai pendapat Luthfi yang merendahkan sistem syariat jelas tidak mendasar.
“Ketidakadilan terhadap buruh, liberalisasi aset-aset negara seperti Freeport, Blok Cepu hingga Blok Mahakam hingga angka kemiskinan yang melonjak itu bukti gagalnya sistem negara sekuler,” jelas Artawijaya kepada hidayatullah.com usai kajian buku “#IndonesiaTanpaLiberal” di Islamic Center AQL Tebet Jakarta Selatan, Ahad (21/10/2012) kemarin.
Hingga hari inipun menurut Arta negara-negara kapitalis justru menggantungkan hidupnya kepada sumber daya alam negara-negara Islam.
Arta mencatat sekita tahun 1967-an negara-negara Arab pernah memboikot subsidi minyak ke AS dan Israel. Saat itu ketidakstabilan ekonomi langsung membuat pemerintah Washington panik. AS lantas mengemis-ngemis minyak ke negara-negara Islam.
“Sumber daya alam itu tidak akan habis karena ia bersumber dari Allah Subhanahu Wata’ala, jelas itu bukti orang yang menegakkan syariat Allah akan selalu diberkahi dibandingkan orang-orang yang menjauhkan agama dari kehidupan bernegara,” jelas Arta lagi.
Arta juga membantah pendapat Lutfhi bahwasanya isu Islam sudah tidak laku lagi ‘dijual’ di peta perpolitikan Indonesia, menurutnya itu kesalahan itu tidak terletak pada gagasan Islamnya namun para penggerak di partai Islam itulah yang tidak amanah dengan komitmen keislamannya.
“Kalau mau survey, sebagian besar umat Islam menolak demokrasi karena demokrasi tidak mengakomodir hak untuk menegakkan syariat Islam,” jelas Arta.
“Sekarang yang tidak konsisten kan demokrasi itu sendiri karena selalu mengkebiri hak syariat umat Islam,” tambahnya.
Terakhir Arta menilai, gagasan sekulerisme yang menghalalkan gaya hidup materialisme dan kapitalisme sangat hipokrit. Kapitalisme menurutnya menilai kemajuan sebuah negara dari berapa banyak tampilan kemewahan, padahal dibalik kemewahan itu terdapat penindasan dan kesenjangan ekonomi yang tajam.
Sedangkan syariat Islam dia menghidupkan persamaan sesuai dengan proporsi keadilannya. Kehidupan sederhaan dan non individualistik hanya salah satu segmen kecil yang dihidupkan oleh syariat dalam gagasannya yang syamil dan mutaqamil (mencakup semua lapisan kehidupan kehidupan).
Sebelumnya, pegiat jaringan Islam liberal (JIL) yang juga, Deputi Direktur eksekutif Freedom Institute, Luthfi Assyaukanie mengatakan dalam sebuah wawancara media mengatakan tidak ada negara yang maju dengan menggunakan syariat Islam.
“Negara-negara Islam melawan kodrat manusia, jadi tidak akan bisa maju. Manusia itu kodratnya menginginkan kebebasan pada dasarnya. Sementara negara-negara yang menerapkan itu, memusuhi kebebasan itu. Misalnya di Arab Saudi, perempuan tidak diperbolehkan mengendarai mobil sendiri. Orang mau bicara politik tidak boleh, di sana orang tidak boleh demonstrasi,” demikian Lutfie dalam sebuah wawanca dikutip laman merdeka.com.*