Hidayatullah.com–Isu halal-haram obat ramai dibicarakan di awal tahun 2014. Hal ini disebabkan sikap Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menolak sertifikasi halal terhadap produk-produk farmasi, termasuk obat-obatan.
Menkes beralasan, mayoritas bahan obat berasal dari luar negeri dan mengandung bahan-bahan yang tidak halal. Dia juga menilai, audit terhadap obat-obatan juga sangat sulit dilakukan.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), Lukmanul Hakim mengatakan, pihaknya sengaja mengangkat isu halal-haram obat di awal tahun karena bertepatan dengan peluncuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) oleh pemerintah.
Menurut Lukman, program Jaminan Kesehatan Nasional yang ditelurkan oleh BPJS harus diiringi dengan jaminan kehalalan obat-obatan yang akan dikonsumsi masyarakat dari program itu.“Mengkonsumsi produk-produk halal adalah hak konstitusional umat Islam,” kata Lukman kepada Hidayatullah TV.
Kata Lukman, jumlah obat halal di Indonesia juga masih sangat sedikit. “Kurang dari satu persen,” katanya.
Selubung riba Selain masalah obat halal, hadirnya BPJS juga dipandang akan menyeret seluruh rakyat Indonesia semakin dalam kepada sistem riba. Karena BPJS mewajibkan seluruh warga negara menjadi pesertanya. Sedangkan sistem asuransi yang dianut masih sistem asuransi ribawi.
“Jika sebelumnya riba bisa dihindari, sekarang malah diwajibkan,” kata Muhaimin Iqbal, pakar ekonomi syariah yang juga anggota Dewan Syariah Nasional.
Pembahasan lebih dalam mengenai hal tersebut akan kami sajikan pada Liputan Utama HTV berikutnya.
Dokter saja tidak tahu, bagaimana pasien?
Status halal-haram produk obat di Indonesia memang sangat sulit diketahui. Jangankan masyarakat awam, para dokter pun sangat sedikit yang mengetahui akan hal ini.
Pada tahun 2008, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Profesor Jurnalis Uddin mengungkapkan, 99 persen dokter di Indonesia tidak tahu akan banyaknya bahan haram yang tercampur pada obat-obatan.Katanya, karena dokter cuma tahu informasi tentang bahan aktif obat, khasiat obat, indikasi dan kontra indikasi obat, efek samping, dosis, dan kemasan obat saja.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga mengakui hal itu. Ketua Pengurus Besar IDI Zaenal Abidin mengatakan, dokter juga membutuhkan kejelasan status halal-haram obat agar bisa memberikan pilihan kepada pasien.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosemetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, jumlah produk yang tersertifikasi halal masih bawah satu persen.
Katanya, dari tiga puluh ribu produk obat, hanya 22 produk obat yang telah lulus uji halal. Kata Lukman, rendahnya angka tersebut karena sertifikasi halal belum diwajibkan oleh pemerintah.
Lukman menjelaskan, obat terdiri dari bahan aktif dan bahan eksipien. Bahan aktif adalah bahan yang memberi khasiat, sedangkan bahan eksipien adalah bahan lain yang dibutuhkan dalam pembentukan sebuah obat.
Kedua bahan tersebut bisa berasal dari unsur hewan, tumbuhan, sintesa kimiawi, fermentasi mikrobiologi, bahkan rekayasa genetika. Karena itu bahan baku dan proses produksi obat harus diperhatikan kehalalannya.
“Walau berasal dari hewan halal seperti sapi, harus dipastikan apakah disembelih sesuai syariat,” kata Lukman.
Menurut LPPOM, semua jenis obat berpeluang besar tercampur zat haram. Baik itu kapsul, pil, kaplet, vaksin, tablet, vaksin, hingga vitamin. Dari yang dijual di apotek hingga yang dijual di warung pinggir jalan.
Lukman menegaskan, meskipun bahan baku obat sangat kompleks dan diimpor dari luar negeri, LPPOM siap untuk mengaudit.
Fatwa darurat, siapa berhak?
Menkes Nafsiah Mboi juga meminta obat-obatan tidak disamakan dengan produk pangan dalam hal sertifikasi halal. Dia beralasan, sertifikasi untuk seluruh produk obat butuh waktu yang lama. Sedangkan masyarakat tidak bisa menunggu lama untuk mendapatkan pengobatan. “Kalau menunggu sertifikasi dulu, bagaimana?” kata Menkes.
Pernyataan Menkes tersebut memicu banyak reaksi. Kementerian Kesehatan pun harus membuat penjelasan. Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Maura Linda Sitanggang menjelaskan, unsur-unsur dalam obat sangat kompleks sehingga sulit untuk memastikan kehalalannya.Karena alasan itulah, obat-obatan yang mengandung zat-zat yang tidak halal dalam Islam tetap digunakan karena darurat.
Namun Lukman anggapan tersebut. Katanya, produk-produk pangan yang beredar juga sama rumitnya dengan obat. Meski demikian, saat ini sudah ribuan perusahaan pangan yang tersertifikasi halal oleh MUI.
MUI juga mengkritik Kemkes yang secara sepihak membolehkan obat berbahan haram karena darurat. Kata Ketua MUI Ma’ruf Amin, masalah halal-haram adalah bagian ulama.
MUI akan mengeluarkan fatwa bolehnya memakai obat berbahan haram jika syarat-syaratnya terpenuhi. Di antaranya, tidak ada obat lain, jika tidak beri obat tersebut pasien akan mati atau sakitnya bertambah parah. Dan harus ada usaha untuk mencari yang halal.
“Statusnya tetap haram, tapi dibolehkan karena darurat,” kata Ma’ruf.*
KLIK liputannya: Kita Dikepung Obat-obatan Haram