Hidayatullah.com–Ketika umat Islam mendapat perlakukan buruk, agamanya dideskriditkan, dan warganya seolah menjadi warga kelas dua di negeri nya sendiri, apa yang bisa kita lakukan?
Derasnya aliran pemikiran termasuk paham liberalisme di tengah-tengah kita, sekali lagi apa yang bisa kita lakukan? Semua peristiwa tidak akan menemukan solusi mana kita hanya menjadi umat penggerutu. Inilah saatnya bergerak. Kejahatan, ketidak-adilan bahkan paham sesat bernama liberalisme setidaknya bisa dilawan dengan pemikiran dengan senjata bernama tulisan.
Demikian paparan yang disampaikan penulis buku ‘Bokis’ dan ‘Matahati’, Maman Suherman di depan jamaah MY Night (Muslim Youth Night) Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA), Sabtu, 29 Maret 2014 kemarin.
Maman Suherman mengatakan, sebuah perubahan besar bisa dimulai dengan berbagai tulisan yang dibuat oleh umat Islam.
“Anda adalah jurnalis. Anda punya Twitter. Apa yang Anda kabarkan, munculkan saja. Anda sedih dengan nasib orang Rohingya, Mesir, Tweet aja langsung. Lihat polisi terima ampolop, munculkan saja! Liput, rekam, munculkan di Twitter! Anda sudah jadi jurnalis warga, Citizen Journalism,”ulas mentor Stand-Up Comedy di Kompas TV itu.
Alumni jurusan Kriminologi FISIP-UI itu tidak setuju jika wartawan dianggap pembuka aib orang.
“Buat saya, bukan persoalan membuka aib. Tapi membiarkan itu, justru lebih bahaya,”tutur Maman di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK), Menteng, Jakarta.
Mengutip ucapan Napoleon Bonaparte, Maman mengatakan, hal paling berbahaya sesungguhnya bukan orang jahat yang berbuat jahat, melainkan orang baik yang diam melihat kejahatan.
“Bagi saya itu sejalan dengan ajaran Islam, minadzulumaati ilannuur. Habis gelap terbitlah terang”ungkapnya mengutip salah satu ayat di Al Quran.
Ada banyak fakta di lapangan menunjukkan hidayah itu belum diterima oleh sebagian besar umat Islam. Ia pernah bertemu dengan sekelompok anak usia SD. Mereka tinggal di sebuah kawasan lokalisasi di Jakarta Utara.
“Saya tanya, cita-citanya apa? Mereka jawab, kalau yang perempuan ingin menjadi Zaskia Gotik sedangkan yang laki-laki ingin menjadi Olga Syahputra,”ulas penggagas acara Mata Hati di Kompas TV itu dengan nada prihatin.
Ketika Maman menelisik lebih jauh, mengapa mereka mau menjadi Olga? Jawaban sederhana yang lebih membuat Maman terperanjat. “Karena kata infotainmen, gaji Olga sehari Rp. 100 juta. Setiap ngisi acara di satu tempat dia dapat Rp. 30 Juta. Tiga tempat bisa Rp.100 Juta,”ulasnya menirukan jawaban anak-anak tersebut. Menggantungkan harapan menjadi orang kaya semata, akan membahayakan pola pikir mereka selanjutnya.
Derasnya informasi tanpa diimbangi pendidikan, membuat mereka hanya mengerti hal-hal seputar kegiatan konsumsi.
“Saya pernah tanya pada mereka, tahu nggak ada ITB (Institut Teknologi Bandung)? Mereka nggak tahu. Mereka tahunya cuma ITC (International Trade Center) karena diseberang rumah mereka ada ITC. Sedangkan mereka banyak ditolak sekolah umum karena kemiskinan mereka,”ulas pria kelahiran Makassar 1965 itu.
Tebaran fakta semacam itu menurut Maman, bisa dijadikan penyemangat umat Islam untuk bangkit dan giat menyuarakan kebenaran.*