Hidayatullah.com–Proses talaqqi (belajar langsung dengan guru), dinilai mampu membuat proses belajar jauh lebih efektif. Pada proses itu, seorang guru bisa menilai perkembangan muridnya lebih intensif.
“Karena gurunya yang lebih tahu perkembangan anak didiknya, maka guru itulah yang berhak memberi ijazah atau izin pada muridnya untuk mengajarkan ilmu tersebut pada lainnya,”jelas Tiar ahli sejarah, Tiar Anwar Bachtiar dalam diskusi dwi pekanan di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Kalibata, Jakarta, belum lama ini.
Diskusi yang mengambil tema “Institusi Pendidikan Islam di Indonesia Masa Pergerakan Nasional 1905-1942” itu membahas kelebihan sistem talaqqi dalam dunia pendidikan.
Kandidat doktor bidang sejarah di Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, sistem talaqqi juga menunjukkan besarnya tanggungjawab seorang guru. Saat ini di Indonesia, bisa ditenemukan sistem ini di berbagai pesantren tradisional.
“Banyak orangtua menyerahkan anaknya ke Pak Kiai. Mereka memasrahkan anaknya untuk dididik pesantren,”tambah Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam (Persis) itu.
Tiar menambahkan, keunikan pesantren tradisional, walaupun jumlah santrinya ribuan, tapi Kiainya hanya satu. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tetap efektif. Hal itu memungkinkan karena menggunakan sistem peer groups atau berkelompok.
Ribuan santri terbagi dalam kelompok-kelompok belajar. Masing-masing kelompok dipimpin seorang Lurah Santri yang berperan sebagai guru. Lurah Santri ini diambil dari santri senior dengan kecakapan ilmu yang sudah berijazah dari Kiai. “Karena itu, jika santri merasa belum memiliki ilmu yang cukup, ia menolak jadi Lurah Santri,”jelas Tiar.
Perkembangan para santri akan dilaporkan pada Kiai. Lurah Santri juga berhak memberikan ijazah pada muridnya dan merekomendasikan pada Kiai.
“Di pesantren-pesantren tradisional, Pak Kiai punya otoritas mutlak. Ia berhak tidak meluluskan santrinya jika dirasa muridnya itu belum menguasai pelajaran sesuai laporan Lurah Santri,”Tiar menerangkan.
Lebih lanjut, penulis buku “Sejarah Nasional Indonesia, Perspektif Baru” itu mengatakan berbeda dengan sistem pendidikan saat ini. Otoritas guru tidak mutlak. Ia juga tidak berhak mengeluarkan ijazah. Ijazah yang awalnya berupa pengakuan lisan, berubah bentuk menjadi selembar kertas. Pihak sekolah yang berhak mengeluarkan ijazah sebagai tanda lulus.
Ketundukan pengajar pada teguran orangtua murid, dilihat Tiar sebagai kekurangan sistem pendidikan saat ini.
“Guru khawatir kalau muridnya Ia tegur, orangtua murid akan melaporkan ke KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia),”pungkasnya.*