Hidayatullah.com–Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja mengkritik media-media yang menjadi corong penguasa politik. Menurutnya, pemberitaan pers yang ideal bukan seperti itu.
Wartawan senior ini mencontohkan, pada zaman orde baru pernah ada surat kabar yang jadi corong pemerintah. Saat itu pemerintah bahkan membeli terbitan media tersebut, lalu membagi-bagikannya kepada rakyat Indonesia.
Padahal semestinya, “(Media) tidak jadi corong kekuatan atau kekuasaan kelompok tertentu,” ujarnya, saat menjadi pembicara pada acara Lokakarya Peliputan Wilayah Konflik di Hotel Akmani, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (13/5/2014).
Pada acara yang diikuti 30-an wartawan itu, Atmakusumah memaparkan tiga hal yang membuat pemberitaan pers disebut ideal. Pertama, menyajikan berita lempang (straight news), feature berita (news feature), dan tulisan beropini seperti komentar dan tajuk rencana.
Berita-berita tersebut, paparnya, diperuntukkan bagi kepentingan umum seluas mungkin dan tidak menunjukkan sikap partisan. Juga tidak menjadi corong kekuatan atau kekuasaan tertentu, serta mengikuti standar atau kode etik jurnalistik.
Namun, Atmakusumah berpendapat, media atau wartawan boleh-boleh saja berpihak. “Berpihak pada apa yang diyakini sebagai yang teradil. Tentu saja ini bisa relatif,” jelasnya, yang juga mengatakan bahwa sikap ini sebagai bentuk kebebasan pers.
Kedua, papar Atmakusumah, berita yang ideal harus komprehensif. Artinya, mengandung fakta-fakta yang rinci dari segala sisi dan dari semua pihak.
Dalam peliputan sebuah konflik, Atmakusumah mengaku dapat dilematis. Pemberitaan yang minimal, karena pers bersikap hati-hati, dapat dianggap menutup-nutupi informasi yang sebetulnya diperlukan masyarakat.
“Sebaliknya, pemberitaan yang komprehensif, yang mengandung fakta-fakta yang rinci dari segala sisi dan dari semua pihak, dapat dianggap provokatif,” paparnya.
Ketiga, tambahnya, berita yang ideal bersifat edukatif. Yaitu bertujuan mengakhiri kekerasan dan mengembangkan sikap menuju kehidupan harmonis.
Menurutnya, jika sebuah televisi menayangkan acara talkshow tentang melangsingkan tubuh, misalnya, itu bukan pers. Beda kalau suatu masalah sudah jadi persoalan masyarakat.
Pemilik Media Bukan Jaminan
Atmakusumah sempat menyinggung media-media yang saat ini banyak dimiliki para politikus. Baginya itu sah-sah saja, sebab siapa pun boleh mendirikan perusahaan media.
“Anda pun kalau mau menerbitkan koran silakan. Asal Anda cukup kaya, kalau (korannya) tidak laku (tetap eksis. Red.),” ujarnya kepada para wartawan dari berbagai media.
Menengok hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) belum lama ini, Atmakusumah berpandangan, para politikus tersebut tidak serta merta terangkat suaranya. Belum tentu kalau punya media, katanya, seorang politikus jadi disukai orang banyak.
“PDI-P yang tidak punya stasiun televisi malah nomor 1,” ujarnya, menyebut partai pemenang pileg 9 April 2014 tersebut.
Menurut Atmakusumah, saat ini pemberitaan pers di dunia termasuk Indonesia lebih dipercaya oleh masyarakat daripada pemberitaan dari aparat negara, seperti tentara dan pemerintah. Apalagi pengusaha.
“Dampak pemberitaan televisi katanya bisa lebih besar terhadap masyarakat,” tambahnya, pada acara gelaran Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) tersebut.*