Hidayatullah.com— Pakar Hukum Islam Universitas Indonesia (UI), Neng Djubaedah mengatakan, sejak kelahirannya, Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 terus “digoyang” berbagai pihak.
Sejak bulan April sampai bulan September tahun 2014 ini saha tercatat, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi atas dua kasus yang terkait UU ini.
Selain gugatan lima orang alumni dan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) tentang pernikahan berbeda agama, gugatan lainnya datang dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) terkait batas usia minimal menikah bagi perempuan. Gugatan itu pernah diajukan bulan April 2014 lalu.
Diantara yang dipermasalahkan YKP adalah usia minimal 16 tahun di UU tersebut dinilai terlalu beresiko untuk masa pertumbuhan. Jika terjadi kehamilan, adanya perebutan gizi antara si ibu dan janin yang dikandungnya. Dalam gugatannya, YKP mengatakan, pernikahan di usia tersebut berbanding lurus dengan banyaknya angka perceraian. Karena itu, mereka mengajukan batas usia minimal menikah untuk perempuan 18 tahun.
Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi: 1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun.
Gugatan sama juga diajukan oleh Hidayatut Thoyyibah. Ia tidak ingin perkawinan dini seperti yang dialami ibunya terjadi juga pada anaknya. Ibu Hidayatut menikah di usia 11 tahun.
Sidang perdananya di MK, dilakukan 8 September 2014, tidak lama berselang dari sidang perdana alumni dan mahasiswa UI, 4 September, menggugat UU yang sama.
Padahal menurut Neng Djubaedah, kenaikan batas usia minimal pernikahan, belum tentu menekan angka seks bebas di kalangan remaja.
Anggota Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI Pusat itu meminta masyarakat mencermati jumlah siswa SD-SMP yang melakukan hubungan seks di luar nikah di bawah usia 16 tahun dan yang melakukan aborsi.
“Kalau mereka telah melakukan hubungan seks sebelum 16 tahun sedangkan batas minimal 16 tahun, berapa lama mereka sudah melakukan hubungan seks? Dosanya tambah panjang! Kalau batas minimal usia nikah dinaikkan menjadi 18 tahun, lebih banyak lagi dong yang melakukan dosa,” jelas Neng pada hidayatullah.com belum lama ini.
Menurut wanita yang mewakili MUI dalam tim Asistensi Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk Sosialisasi UU Perkawinan ini, dengan tidak dinaikkan-pun, bukan jaminan pelaku seks bebas akan menikah di usia 16 atau 18 tahun.
Itu berarti, lanjut Neng, adanya ide kenaikan batas minimal usia pernikahan, tidak berbanding lurus dengan pengurangan tingkat seks bebas ataupun aborsi.
Pemikiran tersebut didasarkan pada usia rata-rata baligh (dewasa secara biologis) seorang anak, 10-15 tahun. Usia tersebut jauh lebih muda dari batas minimal usia menikah.
Karena itu ia meminta umat Islam untuk terus mengawasi usaha-usaha ‘menggoyang’ UU Perkawinan ini.*