Hidayatullah.com- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor KH Ahmad Mukri Aji menuturkan perlunya MUI Pusat mengeluarkan Fatwa tentang kesesatan Syiah, tidak cukup hanya rekomendasi MUI tahun 1984.
“Saya sendiri yang menjadi notulennya saat itu. Tetapi kita harus menyadari, jika rekomendasi yang dikeluarkan MUI pada 1984 tentang mewaspadai kesesatan Syiah, itu masih belum kuat,” ujar Kiai Mukri saat ditemui awak hidayatullah.com usai pertemuan dengan pihak Az Zikra dan beberapa Ulama se-Bogor Raya di kantor MUI Kabupaten Bogor, Kamis (19/03/2015).
Menurut Kiai Mukri, fatwa tentang sesatnya Syiah itu sangat diperlukan, dan apalagi jika dikeluarkan oleh MUI Pusat. Sebab, fatwa sesatnya Syiah itu bisa dijadikan tuntunan umat Islam dan pegangan semua pihak, termasuk pemerintah.
“Tetapi diperlukan kekompakan untuk mengeluarkan fatwa sesat Syiah itu. Sebab yang membela kebatilan juga tak sedikit,” tegas Kiai Mukri.
Untuk itu, sambung Kiai Mukri, umat perlu mendesak MUI pusat supaya mengeluarkan fatwa tentang sesatnya Syiah tersebut.
“Anda itu (MUI Pusat, red) jangan diam. Kalau perlu divoting, mana yang ingin fatwa dan yang tidak. Tapi saya yakin (kalau divoting), yang berpihak pada perlunya fatwa sesat Syiah itu, akan lebih banyak yang menyatakan Syiah itu sesat, sehingga fatwanya itu diperlukan,” ujar Kiai Mukri.
Itulah sebabnya, tegas Kiai Mukri, perlunya MUI daerah dan para ulama mendesak MUI Pusat mengeluarkan fatwa sesat Syiah itu, “MUI daerah bisa menembak MUI pusat saat Munas yang insyaAllah akan digelar Mei mendatang,” tegasnya.
Sementara itu, Kiai Mukri juga menegaskan, pihaknya dalam hal ini Komisi Fatwa MUI Kabupaten Bogor akan membahas masalah kesesatan Syiah yang mana keputusannya sudah dinantikan umat Islam di Indonesia. [Baca: Az Zikra Desak MUI Kabupaten Bogor Keluarkan Fatwa Kesesatan Syiah].
“Apakah nanti MUI Kabupaten Bogor akan menetapkan keputusan yang bentuknya rekomendasi kepada MUI Pusat atau megeluarkan fatwa tentang kesesatan Syiah, kita lihat secepatnya dari hasil sidang Komisi Fatwa,” pungkas Kiai Mukri.*