Hidayatullah.com- Menurut Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B. Nahrawardaya, adanya kelompok masyarakat yang bersimpati pada Daulah Islamiyah Iraq wa Syam (Daisy/ISIS/ISIL) di Timur Tengah, bukan tanpa alasan.
“Di Indonesia, banyak keluarga yang kehilangan anak, suami, keponakan, dan bahkan kehilangan harta benda karena tuduhan terorisme yang tidak berdasar sama sekali,” tegas Mustofa kepada hidayatullah.com, belum lama ini.
Pernyataan itu Mustofa sampaikan untuk menanggapi isu ISIS yang tengah ramai menjadi perbincangan public serta terkait tindakan yang berlebihan dinilai asal-asalan dari pemerintah dalam hal ini Polri (Densus 88) dalam mengatasi masalah radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Menurut Mustofa banyak keluarga tidak bersalah yang telah dibunuh tanpa perlawanan, banyak generasi muda yang dihabisi tanpa baku tembak dan banyak korban tidak berdosa, tewas di moncong senjata Densus 88.
“Fitnah luarbiasa bahkan justru dihembuskan oleh negara, dalam hal ini oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang “berselingkuh” dengan Densus 88 terhadap pesantren, aktifis Muslim, dan bahkan kepada Rohis masjid serta Lembaga Pendidikan Islam meskipun berkedok hasil penelitian yang dilakukan oleh sebagian akademisi-akademisi yang sering meneliti radikalisme,” papar Mustofa yang juga aktif sebagai peneliti terorisme.
Masih menurut Mustofa, korban dari kekejaman Densus 88 merupakan korban fitnah yang tidak pernah mendapat ruang klarifikasi di media massa, akhirnya tidak ada jalan lain kecuali sekalian menceburkan diri ke dalam kancah hiruk pikuknya “perang” melawan teror oleh negara yang dulunya dipimpin Amerika Serikat.
“Jika dulu yang dianggap teroris adalah para terduga, kini justru berbalik. Yang disebut teror adalah negara yang mengikuti Amerika menggalang fitnah kejam atas nama terorisme,” ujar Mustofa.
Keluarga-keluarga yang pernah menerima ketidakadilan atas isu terorisme, menurut Mustofa jelas tidak memiliki teman, dan lingkungan yang bisa menerima mereka. Stampel terduga yang sering disematkan Densus 88 kepada keluarga mereka akan menimbulkan rasa dendam yang tidak pernah mati.
“Kehilangan anggota keluarga yang direnggut nyawanya oleh negara tanpa proses pengadilan, jelas akan memunculkan dendam besar. Apakah negara tidak pernah memikirkan efek dari kebrutalan Densus 88 selama ini?” ujar Mustofa.
Oleh karena itu, kata Mustofa, jika memang perbuatan Densus 88 yang sering membunuh di luar pengadilan dianggap sebuah kelaziman, maka negara harus rela jika ada Warga Negara Indoensia (WNI) yang memilih bergabung dengan ISIS, karena itu akibat dari kekejaman yang dilakukan oleh Densus 88 selama ini.*