Hidayatullah.com- Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Dr Hamid Fahmi Zarkasy mengatakan bahwa lembaga yang berhak mendefinisikan istilah radikal itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Dan pemerintah harus konsultasi atau konsolidasi dengan kriteria radikal yang dicanangkan oleh MUI,” kata Hamid saat dihubungi awak hidayatullah.com, belum lama ini.
Hamid menuturkan jika seandainya MUI mengatakan bahwa suatu paham itu ghuluw (atau berlebihan di dalam Islam, red) hal itu tetap harus dikaji, kemudian kembali dipahami secara konseptual dan dijelaskan. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan radikalisme dalam bidang agama.
“Baru kemudian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bisa menyalahkan perilaku situs media Islam yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam,” ujar Hamid.
Hamid melihat ada ketidak-adilan penggunaan makna radikal. Jika kegiatan radikal tidak atas nama agama, pemerintah tidak menyebutnya radikal. Salah satu contoh, ada siswa SMP yang membunuh siswa SMA, kenapa tidak ditelusuri perbuatan radikal yang seperti itu?
“Jadi ini apa kriterianya? Ini menjadi aneh, itu kan juga perbuatan radikal,” ujar Hamid.
Di sisi lain, jika adala ideologi radikal selain Islam, pemerintah juga bersikap diam saja, tak memasukkannya dalam kelompok radikal.
Padahal, kelompok sekuler, liberal dan kaum komunis juga bisa bertindak radikal. Masalahnya berbeda jika pelakunya berkaitan dengan Islam. [Baca: Kreteria Radikal Juga Harus Terapkan Pada Kelompok Sekuler, Liberal dan Komunis]
Sebenarnya jika kata radikal dipahami secara benar dalam arti beragama, menurut Hamid itu tidak ada masalah. Berpikir radikal itu, lanjutnya, adalah berpikir filosofis.
“Seseorang itu memang harus berpikir radikal dalam menyelesaikan suatu masalah,” tegas Hamid.
Selain itu, menurut Hamid, berpikir radikal dalam bidang agama artinya memahami agama secara mendasar sampai ke akar-akarnya.
“Radic itu kan akar, yang kemudian diplintir dan disalah artikan menjadi kekerasan. Itu yang saya sayangkan, sebenarnya istilah itu permainan kata saja,” ujar Hamid.
Hamid menuturkan orang Islam yang berpikir radikal justru menghormati orang yang beragama lain, sedangkan yang tidak berpikir radikal itu yang justru tidak menghormati orang yang beragama lain.
“Istilah radikal sebenarnya tidak jauh beda dengan istilah fundamental, oleh sebab itu makna-makna istilah seperti itu harus diluruskan,” tegas Hamid.
Inti ajaran Islam jika dipikirkan secara radikal, menurut Hamid, mengandung makna kemanusian dalam Islam yang berawal dari percaya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Kriteria keimanan itu adalah penghormatan dan penghargaan terhadap kemanusiaan,” kata Hamid.
Masih menurut Hamid orang yang sangat tinggi imannya itu adalah orang yang sangat tinggi toleransinya kepada orang lain.
“Lha ini kok bisa orang yang sangat tinggi keimanannya diarahkan kepada orang yang sadis kepada orang lain (berbuat kekerasan, red). Itu kan salah kaprah, maka harus diluruskan,” kata Pempinan Redaksi Jurnal ISLAMIA ini.
Hamid juga berharap kata radikal itu jangan sampai dibelokkan dan atau digunakan sama mereka yang tidak memahaminya, karena itu bahasanya bukan bahasa Islam.
“Secara umum, kelompok-kelompok yang melakukan bentuk kekerasan dan pembunuhan bi ghairil haq (tanpa ada dalil syar’inya) itu adalah sebuah pemahaman radikal yang salah,” kata Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini.
Jadi, Hamid menegaskan seseorang yang berpikir secara radikal itu tidak ada masalah, justru yang menjadi masalahnya apakah dengan berpikir radikal itu, kemudian seseorang tidak menghormati umat yang beragama lain.*