Hidayatullah.com– Pegiat media sosial yang dituntut hukuman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Jon Riah Ukur alias Jonru Ginting, menyampaikan pledoi (pembelaan) pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (26/02/2018).
Jonru menyatakan tetap pada pendiriannya bahwa dia merasa tidak bersalah.
“Karena sesuai dengan pendapat Ahli, bahwa apa yang di-posting ke media sosial -yang dipermasalahkan, Red– tidak bisa dikenai delik hukum pidana, jika yang dilakukan adalah memberi peringatan kepada khalayak tentang bahaya aliran sesat (Syiah),” jelasnya sebagaimana disampaikan Koordinator Tim Kuasa Advokat Muslim yang mendampingi Jonru, Djudju Purwantoro, kepada hidayatullah.com.
Baca: Dakwaan Dinilai Aneh, Kuasa Hukum Jonru Ajukan Eksepsi
Demikian pula, jelasnya, terhadap orang yang menyampaikan kebenaran berdasarkan kepercayaan agamanya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, tidak dapat dikenakan delik pidana.
Ia mengatakan, unggahan Jonru lebih kepada motivasi dan kritik kepada masyarakat dan pemerintah, agar bangsa Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri.
“Istilah China bukan mengacu kepada etnis Tionghoa yang ada di Indonesia dan mereka telah menjadi WN Indonesia berdasarkan Kepres No 12/2014. Istilah China telah diubah menjadi Tionghoa, sehingga tidak ada unsur SARA,” jelasnya.
Kemudian, tambahnya, tentang banyaknya orang yang menuduh bahwa Islam agama teroris, radikal, anti NKRI, dan sebagainya, adalah fakta bahwa negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim tidak pernah menjajah negara manapun.
“Jadi sungguh aneh jika Islam dituduh sebagai agama teroris, radikal, dan sebagainya,” imbuhnya.
Baca: Sayangkan Perlakuan Polisi, Pengacara: Jonru Diborgol seperti Seorang Teroris
Sementara itu, Penasehat Hukum Jonru juga menyampaikan pledoinya, antara lain, bahwa barang bukti yang tidak dilakukan digital forensik (hanya screenshot), tidak dapat dijadikan dasar sebagai bukti elektronik yang sah.
“JPU tidak dpt membuktikan keabsahan barang buktinya, karena tidak bisa mengaksesnya di muka persidangan,” jelas Djudju.
Bahwa, tambah dia, dalam persidangan JPU tidak bisa membuktikan adanya wujud rasa benci dan permusuhan atas dasar SARA. Faktanya tidak ada rasa kebencian dan akibat yang ditimbulkan oleh unggahan Jonru berdasarkan SARA dalam masyarakat.*