Hidayatullah.com – Rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menggusur kawasan permukiman Luar Batang menjadi tempat wisata bahari di sekitar Masjid Luar Batang masih menyisahkan kekecewaan warga.
Apalagi sejak keluar surat pemberitahuan dari Camat Penjaringan tertanggal 24 Maret 2016, warga yang berada di empat kawasan sekitaran Sunda Kelapa, yakni Kampung Luar Batang, Pasar Ikan, Kampung Aquarium dan kawasan Museum Bahari, menjadi resah.
Pasalnya, tempat yang mereka tinggali sejak turun temurun itu rencananya akan dibongkar untuk dikembalikan fungsinya dan diubah menjadi bagian dari wisata maritim internasional oleh Pemda DKI Jakarta.
Minimnya Sosialisasi
Sebagian besar warga yang keberatan dengan rencana tersebut berniat untuk melakukan aksi pembubuhan tanda tangan bercap darah sebagai simbol perlawanan terhadap arogansi kekuasaan yang mengatasnamakan “Revitalisasi Kawasan Wisata Sunda Kelapa”.
Menurut Ketua RW 04 Kelurahan Pasar Ikan, Muhammad mengatakan, terkait respon warga yang demikian, dirasa sebagai ungkapan kekecewaan warga yang telah membayar iuran PBB selama belasan tahun. Walaupun sebetulnya, hampir seluruh warga di kawasan tersebut tidak memiliki sertifikat kepemilikan bangunan, hanya membayar iuran rutin saja.
“Pada prinsipnya warga setuju dengan revitalisasi, kami juga ingin taraf hidup kami lebih baik. Tapi kami meminta bahwa Pemkot Jakarta Utara mau membukan diri, sehingga terjadi dialog interaktif dan tidak merasa dirampas hak-haknya, dimiskinkan tiba-tiba,” ujarnya kepada hidayatullah.com usai shalat Jum’at di kantor sekretariat Masjid Keramat Luar Batang, (01/04/2016).
Muhammad mengeluhkan minimnya sosialisasi terkait rencana revitalisasi empat kawasan tersebut. Apalagi, tidak adanya kejelasan mengenai batas-batas wilayah yang akan digusur, sehingga terjadi salah persepsi oleh warga yang menganggap Masjid Keramat Luar Batang juga termasuk bangunan yang terkena pembongkaran, mengingat masjid tersebut berada di kawasan Luar Batang.
“Ini karena minimnya sosialisasi, surat dari bapak Camat itu tidak mengatakan tidak termasuk masjid Keramat Luar Batang, hanya menjelaskan akan ada relokasi yang mencakup wilayah RW 01, 02, 03, dan 04. Tidak disampaikan dimana batasnya, sehingga interpretasi kami termasuk makam. Wajar kalau warga resah,” jelasnya.
Untuk diketahui, di Masjid Keramat Batang terdapat makam Al Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, pendiri masjid tersebut. Ia adalah seorang ulama dari Yaman yang mulai menyiarkan agama Islam sejak tahun 1700-an di pesisir Batavia.
Show of Force
Selain mengeluhkan minimnya sosialisasi dari pemerintah, Muhammad juga menyayangkan tindakan yang terkesan mengedapankan kekuatan aparat keamanan, ketimbang sosialisasi. Hal itu, kata dia, tercermin dari keberadaan 3 Pilar (TNI, Polri dan Pemda) yang langsung diturunkan dan membangun Posko di Menara Miring setelah adanya surat pemberitahuan Camat Penjaringan.
“Seharusnya tugasnya adalah memback-up keamanan petugas kelurahan dan kecamatan, tapi faktanya ini show of force, pamer kekuatan. Apa itu yang namanya sosialisasi, walaupun tidak bersenjata tapi dengan atribut lengkap. Saya rasa itu pelanggaran HAM. Bukan relokasi ini namanya, tapi eksodus,” tukasnya geram.
“Kami hanya memprihatinkan cara-cara seperti ini, karena tentunya sebagai warga DKI kami tidak ingin membangkang terhadap pemerintah, kami juga sadar mendirikan bangunan tidak pada tempatnya, tapi tidak selayaknya kami diperlakukan seperti ini,” tambah Muhammad.
Pasalnya, ia menceritakan beberapa warganya yang jatuh pingsan ketika didatangi oleh aparat keamanan saat melakukan pendataan. Termasuk ketika dari Satpol PP yang diback-up oleh TNI dan Polri melakukan penandaan terhadap rumah dan kios di kawasan Pasar Ikan yang akan dibongkar dengan memberi tanda silang menggunakan pilox berwarna putih dan merah.
“Disaksikan sendiri oleh masyarakat, dan ketika ditanya kenapa diberi tanda seperti itu, petugas menjawab ‘Mau dibongkar, digusur bentar lagi’. Apa seperti itu sosialiasi?” ungkapnya.
Muhammad juga menilai, warganya tidak diberikan pilihan lain selain relokasi ke rumah susun (rusun) yang berada di Marunda. Padahal, terangnya, tidak semua warga yang menghendaki rusun, ada juga yang ingin mencari rumah sekitar Pasar Ikan, karena pertimbangan pekerjaan, sekolaha anak, dan lain-lain.
“Apalagi orang tuanya kerja di sektor informal di daerah Muara Angke, Muara Baru, Sunda Kelapa dan sekitarnya. Itu juga pilihan yang harus diakomodir oleh pemerintah. Tapi sampai saat ini belum ada lagi opsi selain rumah susun,” keluhnya.
Untuk itu, Ketua RW yang membawahi sekitar 1500 warga dari 4 RT ini meminta agar pemerintah lebih terbuka dan mengedepankan dialog dengan warga. Bukan dengan mengerahkan aparat keamanan.*