Hidayatullah.com– Sikap Pemerintah yang dinilai menunjukkan keengganan atau berupaya mengulur-ulur proses pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah berkali-kali terjadi.
“Dan ini menunjukkan ketidakpeduliannya (Pemerintah) pada penegakan hukum,” ujar Hamid Chalid, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, di Jakarta, Senin (13/02/2017).
Hamid menyebutkan, mula-mula, ketika Ahok telah resmi menjadi terdakwa kasus penistaan agama, awal Desember 2016, seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengeluarkan Keputusan Pemberhentian Sementara terhadap Ahok.
Keluarga Alumni KAMMI Desak Presiden Berhentikan Ahok Sesuai Aturan
Namun, imbuhnya, Pemerintah mangkir dari keharusan tersebut. Dengan dalih, pemberhentian sementara Ahok belum perlu dilakukan karena Ahok sedang cuti kampanye.
Sehingga, keputusan pemberhentian sementara katanya baru akan ditandatangani oleh Presiden setelah Ahok selesai menjalani masa cutinya yang berakhir pada tanggal 11 Februari 2017.
Akan tetapi, lanjut Hamid, ketika masa cuti Ahok telah habis, Pemerintah melalui Mendagri ternyata kembali membuat pernyataan yang tampaknya ingin sekali lagi mengulur-ulur proses pemberhentian sementara Ahok.
Pemerintah melalui Mendagri, menurutnya, mencoba mengarang penafsiran terhadap ketentuan pemberhentian sementara yang diatur dalam Pasal 83 UU Pemda.
Pemerintah, imbuhnya, mencoba menafsirkan pasal itu dengan mengatakan, pemberhentian sementara Ahok belum dapat dilakukan karena masih harus menunggu tuntutan (requisitoir) jaksa.
Padahal, menurut Hamid, bagaimana bisa bunyi ketentuan yang demikian jelas dapat ditafsirkan begitu oleh pemerintah.
Bahkan, ia menyebut, setiap orang yang berakal sehat tidak memerlukan seorang ahli hukum pun untuk memahami bahwa yang sedang dimainkan ini bukanlah tafsir atas bunyi suatu ketentuan undang-undang.
“Tapi ini adalah kayu kekuasaan yang sedang mengayun ke sana-ke mari yang sedang menunjukkan kepanikan belaka,” ungkapnya.
Tunda Penahanan Ahok, Pemerintah Dinilai Berakrobat Soal UU Pemda
Dasar Pemberhentian Registrasi Perkara
Hamid menjelaskan, ayat (2) dari Pasal 83 UU Pemda itu telah menegaskan, yang menjadi dasar pemberhentian sementara adalah adanya registrasi perkara pidana di pengadilan, bukan pembacaan tuntutan oleh jaksa.
Jadi, manakala perkaranya sudah dilimpahkan oleh jaksa ke pengadilan dan telah teregistrasi di pengadilan, maka sejak saat itu Presiden harus mengeluarkan Keppres Pemberhentian Sementara atas kepala daerah dimaksud.
“Sebab bukti registrasi perkara itulah yang akan ditulis dan menjadi dasar dikeluarkannya Keppres yang dimaksud,” paparnya.
Di tambah lagi, dalam praktiknya selama ini, ungkapnya, kepala daerah yang terjerat kasus pidana pasti diberhentikan sementara, segera setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa. Tanpa harus menunggu dan bergantung pada tuntutan (requisitoir) yang diajukan jaksa di dalam persidangan.
Pemuda Muhammadiyah: Hukum Telah Dimatikan oleh Kuasa Politik
“Pernyataan Mendagri yang pada intinya berisi ‘penolakan’ untuk memberhentikan sementara Ahok dapat dipastikan merupakan tindakan subjektif dan spesifik hanya berlaku bagi Ahok,” pungkas Hamid.*