Hidayatullah.com– Sedari awal wajah hukum di Indonesia dipandang sudah tidak begitu berdaulat, di depan rentetan panjang peristiwa hukum yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
“Dalam konteks ini, tidaklah perlu kaget berlebihan, karena lemahnya kedaulatan hukum tampil dengan wajah yang memucat tak perlu tafsir untuk melihat dan merasakan itu semua,” ujar Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Faisal SH MH.
Yang mesti dilakukan saat ini tetap mengawal proses penegakan hukumnya. Sebab, imbuhnya, hukum telah dimatikan oleh kuasa politik, sehingga tak jarang banyak akrobatik celah hukum yang dilakukan.
Sekber Aktivis: Aksi Bela Islam Meluas karena Hilangnya Keadilan Hukum
Lihat saja, kata dia, penetapan Ahok menjadi tersangka kasus penistaan agama yang begitu rumitnya.
“Seperti kita sedang berhadapan pada situasi kasus yang maha sulit, padahal cukup simpel jika melihat unsur pasal penistaan agama,” ujar Faisal melalui pernyataan tertulis diterima hidayatullah.com Jakarta, semalam, Ahad (12/02/2017).
Kemudian, di persidangannya, pihak terdakwa Ahok mengaku memiliki bukti percakapan telepon, yang berujung pada spekulasi publik akan adanya indikasi melakukan penyadapan tanpa hak.
“Jelas ini langgar UU bahkan penegak hukum tak berupaya sedikitpun untuk menindaklanjuti pernyataan pihak terdakwa apalagi ini bukan delik aduan,” ungkapnya.
Presiden Jokowi Diminta Segera Berhentikan Sementara Ahok, agar tak Terkesan Pilih Kasih
Presiden dan Mendagri Berpotensi Langgar UU
Daftar panjang jika hukum betul-betul tidak berdaulat bertambah, setelah langkah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang tidak memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, imbuhnya.
Padahal, terang Faisal, jelas dan tegas perintah dalam pasal 83 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Jika Presiden Joko Widodo dan Mendagri tidak melaksanakan perintah itu akan berpotensi langgar UU tersebut.
“Bukankah pasal 83 (1) itu tidak sedikitpun membuka ruang perdebatan tafsir,” ungkapnya.
Bahkan, jelas Faisal, pasal tersebut harus dimaknai demi kebaikan para pihak. Baik itu pihak terdakwa agar lebih fokus jalani proses hukumnya, serta pihak pemerintah DKI agar tidak terhambat dalam pengambilan kebijakan karena terhalang faktor status hukum Gubernurnya.
Keadilan Hukum Disoroti, Kepolisian Dikhawatirkan Makin tak Dipercaya Masyarakat
Menurut Faisal, terkait penundaan pemberhentian Ahok, dalih Mendagri sepertinya memaknai Pasal 83 (1) menunggu sampai tuntutan resmi jaksa penuntut di persidangan. Kalau tuntutannya lima tahun, diberhentikan sementara. Kalau tuntutannya di bawah lima tahun, tetap menjabat sampai keputusan hukum tetap.
Alasan yang dilontarkan Mendagri ini, ungkap Faisal, tidak sama sekali memperhatikan prinsip objektivitas dan prinsip tidak berpihak dalam menegakkan hukum dan UU.
Menurutnya, subjektivitas Mendagri jika dalam memaknai Pasal 83 (1) harus menunggu tuntutan jaksa. Padahal, terang Faisal, objektivitas yang dianut pada Pasal 83 (1) berhenti pada dakwaan awal yang diancam pada Pasal 156a KUHP yaitu lima tahun.
“Mutlak alasan Mendagri tadi tidak sama sekali mewakili prinsip objektivitas,” tegas Faisal.*