Hidayatullah.com–Analis politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun menyebutkan, ada empat faktor kekalahan Ahok-Djarot dalam perhitungan cepat beberapa lembaga survei.
Pertama, menurutnya, mesin politik Ahok-Jarot tidak bergerak efektif. Padahal, kata dia, mesin politik Ahok-Djarot secara kuantitas sebenarnya mengungguli pasangan Anies-Sandi karena mereka didukung oleh enam partai politik (PDIP, Nasdem, Hanura, Golkar, PKB dan PPP) serta mantan relawan yang teruji pada Pilkada 2012. Sementara Anies-Sandi didukung 5 partai (Gerindra,PKS,PAN,Perindo, dan Partai Idaman) dan relawan.
Sayangnya, lanjut direktur Puspol Indonesia ini, modal kuantitas tersebut tidak mampu bekerja efektif karena pola kampanye mereka sudah terbaca dengan baik oleh mesin politik pasangan Anies-Sandi.
“Pola ‘kampanye darat’ yang konvensional dengan kecenderungan menggunakan pola seperti melalui kegiatan baksos, sembako murah, dan sembako gratis tidak efektif lagi mempengaruhi secara luas pemilih Jakarta yang mayoritas pemilih rasional,” terangnya kepada hidayatullah.com, Kamis (20/04/2017).
Baca: Meski Pendukung Ahok Bagikan Amplop, Anies-Sandi Tetap Menang di Sini
Termasuk, tambahnya, pola ‘kampanye udara’ mereka yang cenderung menggunakan pola playing victim sebuah kampanye melalui dunia maya untuk menggambarkan pasangan Ahok-Djarot sebagai korban diskriminasi dan intoleransi, tidak mampu merubah cara pandangan warga Jakarta secara mayoritas.
“Militansi berlebihan cyber army Ahok-Jarot juga seringkali justru menjadi blunder politik,” ujarnya.
Kedua, modal finansial yang lebih besar dimiliki pasangan Ahok-Djarot tidak digunakan secara efisien dan efektif. Melimpahnya dukungan finansial yang dimiliki mereka tidak digunakan untuk agenda-agenda pemenangan secara efisien. Ini, kata dia, bisa dicermati dari pembiayaan yang besar untuk imaging politic melalui media masa dan media sosial, tetapi tidak berbuah pada meningkatnya elektabilitas mereka. ‘Kampanye udara’ yang berbiaya besar dinilainya tampak lebih diutamakan dibanding ‘kampanye darat’ yang sesungguhnya bisa lebih efektif dengan menggerakan mesin politik secara kultural.
Ketiga, komunikasi Ahok pada publik tidak santun. Tidak sedikit pernyataan – pernyataan Ahok dihadapan publik menimbulkan kemarahan massa diantaranya yang paling fenomenal adalah terkait pernyataanya mengenai Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu pada September 2016. Dalam konteks sosiologis politik, menurut Badrun, tampaknya cara komunikasi santun jauh lebih diterima warga Jakarta.
Dan terakhir, tindakan fatal relawan atau simpatisan Ahok-DJarot. Tindakan fatal Ahok atau timnya menjelang putaran kedua, catat Badrun, ada pada dua hal, yaitu video kampanye yang mengesankan umat Islam intoleran (lakukan kekerasan) dan operasi bagi-bagi sembako di hari tenang yang dilakukan oleh sekelompok relawan atau simpatisan yang menggunakan simbol baju kotak-kotak.
“Ini menimbulkan kesan negatif terhadap pasangan Ahok-Jarot yang justru mengurangi elektabilitasnya. Video kampanye Ahok-Jarot yang menggambarkan umat Islam yang keras dan intoleran tersebut justru meningkatkan militansi pemilih Muslim Jakarta karena umat merasa disudutkan,” paparnya.
Ini, tambah Badrun, mengingatkan warga Muslim terhadap Ahok dalam kasus Al- Maidah 51. Menurutnya, Ahok-Djarot nampaknya lupa temuan riset bahwa 65% warga muslim Jakarta memilih karena faktor agama.*/Andi