Hidayatullah.com– Slogan yang sedang populer menyambut pemilihan presiden tahun depan, “2019GantiPresiden” atau “GantiPresiden2019”, lagi viral belakangan ini. Namun, “semangat” tersebut dinilai tak cukup jika hanya sebatas itu, tanpa ada langkah lebih maju untuk menyiapkan pemimpin di Indonesia yang mayoritas Muslim ini.
Semangat “ganti presiden”, menurut salah seorang aktivis dakwah Islam, Ustadz Fathuddin Ja’far, sebenarnya sudah menjadi hal biasa di negeri ini.
Menurut Pembina Majelis Tafaqquh Fiddin (MTF) ini, viral-nya “2019GantiPresiden” jelas disebabkan Presidennya tidak cakap karena salah pilih. “Salah siapa? Salah yang memilih lah,” ujarnya berpendapat di Madinah Al-Munawwarah, Arab Saudi, Ahad (08/04/2018) dalam pernyataannya kepada hidayatullah.com.
Baca: Viral #2019GantiPresiden, Masyarakat Dinila Mulai Hilang Kepercayaan ke Jokowi
Lalu apakah cukup hanya semangat “2019GantiPresiden”? Tidak cukup. “Mari kita belajar lebih cerdas lagi,” ajaknya. Waktu rakyat menumbangkan Orde Baru, juga dengan semangat “GantiPresiden”.
“Sayangnya Presiden Habibie yang sangat hebat itu harus diganti juga/tidak dilanjutkan ke masa berikutnya kareana semangat ‘GantiPresiden’. Padahal lebih kurang 1,5 tahun saja beliau jadi Presiden, ekonomi sudah recovery, (nilai tukar) dolar AS yang tadinya 16 ribu rupiah berubah menjadi Rp 7.600 saja,” imbuhnya.
Semangat “GantiPresiden” akhirnya kemudian, kata dia, melahirkan jadinya seorang Presiden pengganti Habibie, yang kata dia membuat negeri ini semakin gonjang ganjing. Lalu digantikan kemudian oleh Presiden wanita pertama di Indonesia. “Yang hanya bisa diam seribu bahasa tak bisa berbuat apa-apa. Anehnya, di balik diam itu ia dan gangnya meraup emas/untung besar lewal lego BUMN seperti Indosat dan sebagainya,” ungkapnya.
Kemudian, semangat “GantiPresiden” telah menghantarkan seorang menteri jadi Presiden RI selama dua periode. “Alasannya sederhana, karena ganteng plus teraniaya. Begitu imej yang dimainkan saat itu.”
Namun demikian, masih kata Fathuddin, nasib bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, juga tidak banyak berubah. Korupsi merajalela yang baunya masih tercium samapai saat ini.
Kemudian, lanjutnya, semangat “GantiPresiden” dari militer (Susilo Bambang Yudhoyono/SBY) ke sipil yang “calm, cerdas, dan ndeso” telah pula menghantarkan seorang anak bangsa yang biasa-biasa saja menjadi Presiden, “lompatan dari Wali Kota (Solo) ke Gubernur (DKI Jakarta) dan salto ke Presiden.”
“Akhirnya masyarakat yang cerdas kecewa besar karena kehancuran negeri sudah di depan mata,” ungkapnya menyindir kondisi bangsa di era Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat ini.
Semangat “GantiPresiden” pun muncul dimana-mana kendati kata dia Jokowi-JK baru 3 tahun menjabat. Kaos “2019GantiPresiden” atau “GantiPresiden2019” pun dideklarasikan dengan harapan akan menjadi “kaos sakti” pada Pilpres 2019 yang akan datang.
“Sangat perlu kita sadari dari hati yang dalam dan pikiran yang jernih, bahwa ide dan semangat ‘GantiPresiden2019’ itu bisa bagus dan bisa tidak,” ujarnya.
“Kalau hanya seperti yang sudah-sudah, tentu tidak bagus karena sudah berkali-kali gonta- ganti Presiden, khususnya di era reformasi ini, nasib umat Islam dan negeri ini semakin tragis, kecuali era Habibie yang sebentar itu.
Akan jadi bagus apabila semangat ‘GantiPresiden2019’ itu sudah dijelaskan/ditunjuk siapa calon penggantinya yang memiliki kriteria yang cukup sebagai pemimpin suatu negara yang penduduknya mayoritas Muslim,” tambahnya.
Misalnya, sebutnya, dalam khazanah politik Islam, sudah dijelaskan seperti yang termaktub dalam kitab Al-Ahkam As-Shulthaniyyah, karya Al-Mawardi yang sangat monumental itu. Bahwa, tugas utama khalifah/imam a’zhom/presiden -dalam bahasa sekarang- hanya dua.
“Pertama, himayatuddin (menjaga/menerapkan) Islam sebagai sistem hidup. Kedua, siyasastuddunya (memenej kehidupan dunia),” sebutnya.
Kalau kemampuan dua hal tersebut tidak ada dalam diri seseorang yang dicalonkan sebagai pengganti Presiden atau sebagai pemimpin yang baru, kata dia, jangan harap akan ada perubahan kehidupan beragama dan juga urusan dunia. “Sangat jauh panggang dari api.”
“Yang ada hanyalah malapetaka semakin mendera seperti yang kita saksikan dan rasakan khususnya selama 20 tahun belakangan ini dan terlebih lagi 3 tahun belakangan ini. Agama Islam dan umatnya menjadi objek penistaan dan pada waktu yang sama, dunia diserahkan kepada asing/aseng secara sukarela,” ungkapnya.
“Adakah penderitaan dan kehinaan melebihi daripada itu semua? Tentu tidak, jawabannya bagi kita kaum Mukmin,” ungkapnya.
“Jadi, semangat ‘GantiPresiden2019’ saja tidak cukup. Harus ada langkah yang lebih maju, berani, dan konstruktif,” pungkas Fathuddin.*
Baca: Ustadz Fathuddin Tak Tahu Materi Ceramah yang Dikasuskan Polres