Hidayatullah.com– Wakil Ketua DPR RI yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, menyatakan, meskipun pemerintah berkali-kali menolak tuduhan bahwa forum Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia yang baru saja ditutup di Bali, baru-baru ini, sebagai forum untuk menarik utang baru, namun kenyataan berbicara lain.
Fadli Zon mengingatkan agar pemerintah tidak menambah utang baru atas nama bencana.
“Saya membaca World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB) masing-masing telah menyampaikan komitmen untuk mencairkan pinjaman US$1 miliar, jadi totalnya US$2 miliar, atau sekitar Rp 30 triliun lebih, untuk membantu pemulihan kondisi pasca bencana di Lombok, Palu, dan Donggala. Meskipun judulnya adalah bantuan, tapi sebenarnya itu adalah utang,” ujarnya dalam siaran persnya diterima hidayatullah.com, Selasa (16/10/2018).
Fadli berharap pemerintah tak menerima tawaran tersebut. Menurutnya, membuat utang baru untuk proses pemulihan bencana sama saja seperti mengatasi bencana dengan bencana.
“Pemerintah seharusnya mencari solusi lain. Realokasi APBN yang dapat dihemat. Sementara menganggap tawaran utang sebagai prestasi lobi pemerintah adalah klaim usang. Selain membodohi juga menggelikan,” ujarnya.
Baca: Catatan Kritis Pimpinan Gerindra Terhadap Pertemuan IMF-WB
Ia mengatakan, menangani pemulihan bencana melalui penciptaan utang baru hanya akan kian membebani perekonomian nasional. Sebelum ada tawaran utang baru saja, posisi utang Indonesia sudah sangat besar. Per Agustus 2018, posisi utang pemerintah telah mencapai Rp 4.363 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 30,31 persen.
“Jika ada utang baru, rasionya bakal kian besar lagi. Itu buruk bagi psikologi anggaran,” imbuhnya.
Sebagai gambaran, kata dia, ketika rasio utang pemerintah masih 27 persen terhadap PDB, jika dibagi rata kepada setiap penduduk Indonesia, maka setiap orang harus menanggung utang Rp 13 juta.
“Menteri Keuangan seharusnya memiliki kemampuan lobi yang hebat. Daripada meminta utang baru, pemerintah seharusnya justru mengajukan rescheduling pembayaran cicilan pokok atau bunga utang, minimal hingga tiga tahun ke depan, agar anggaran publik kita bisa lebih longgar. Atau, bila perlu, pemerintah bahkan memperjuangkan penghapusan utang lama, agar kita memiliki ruang fiskal yang lebih besar untuk menangani pemulihan pasca-bencana,” sarannya.
Baca: IMF-WB Memuji-muji Indonesia yang Dipinjami USD 1 Miliar
Berkaca pada tsunami Aceh pada 2004, misalnya, beberapa negara sempat menawarkan penghapusan utang kepada Indonesia. Kenapa bukan hal semacam itu yang diperjuangkan? ungkap Fadli.
Kalau pejabat Indonesia bisanya hanya mengajukan utang baru untuk mengatasi keterbatasan anggaran, menurutnya itu bukan prestasi. Sebagai pemilik gelar ‘Menteri Keuangan Terbaik Sedunia’, Ibu Sri Mulyani mestinya bisa menawarkan terobosan, bukannya malah memberikan solusi yang membebani.
Kata dia, publik harus mengawasi apakah komitmen pinjaman atas nama bencana dari Bank Dunia dan ADB tadi akan disambut oleh pemerintah atau tidak. Dan publik harus diberitahu apa yang disebut bantuan itu sebenarnya adalah utang yang nantinya harus dibayar oleh seluruh rakyat, bukan bantuan cuma-cuma.
“Bukan zamannya lagi mengelabui rakyat dengan menyebut utang sebagai bantuan, apalagi investasi. Sebab, dari hasil pantauan saya, dari forum di Bali kemarin beberapa BUMN juga ada yang menarik utang baru yang mereka sebut sebagai investasi, padahal itu jelas-jelas utang,” pungkasnya.*