Hidayatullah.com– Menurut Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), semua pihak mengakui, sebagai moda transportasi masal, kereta api telah melalukan transformasi, bahkan “revolusi”; baik dari sisi hulu hingga hilir. Dari sisi hulu berbagai kemajuan signifikan telah dicapainya. Termasuk pencapaian revenue, sehingga PT KAI terus meningkat keuntungannya. Dan pada akhirnya, dari sisi hilir pelayanan PT KAI boleh diacungi jempol. Kondisi ini bermula saat managemen PT KAI ditukangi oleh seorang Ignasius Jonan, sebagai lokomotif (Dirut) PT KAI.
Menurutnya, salah satu terobosan dari sisi pelayanan itu adalah mewujudkan kereta api tanpa rokok. Waktu itu katanya Jonan menggebrak bahwa siapapun tidak boleh merokok di area stasiun, dan di dalam kereta api. Jika terbukti ada penumpang yang merokok, akan diturunkan di tengah jalan. Dan hal itu beberapa kali dilakukan.
“Penegakan hukum kebijakan kereta api tanpa rokok waktu itu cukup tegas. Keberadaan iklan rokok di area stasiun pun dilarangnya. Iklan rokok yang semula masih bertebaran di stasiun, menjadi bersih, hilang,” ujar Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, dalam siaran konferensi persnya di Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Namun, terkait kebijakan larangan iklan rokok di area stasiun, saat ini lanjutnya terjadi kemunduran yang sangat di managemen PT KAI. Iklan rokok kembali bertebaran di hampir semua stasiun kereta api.
Menurut hasil monitoring YLKI dan jaringannya, iklan rokok banyak ditemukan di stasiun Yogyakarta (Tugu dan Lempuyangan), Stasiun Semut dan Gubeng di Surabaya, Stasiun Solo Balapan di Solo, Stasiun Purwokerto, dan Stasiun Tawang Semarang.
Terkait hal ini, berikut ini beberapa catatan kritis disampaikan YLKI untuk managemen PT KAI.
Pertama, kata Tulus, hal itu menandakan adanya penurunan pelayanan PT KAI pada konsumennya. Sebab dengan maraknya iklan rokok di stasiun, PT KAI telah memberikan pesan dan promosi negatif pada konsumennya;
“Kedua, hal ini menandakan perilaku kebijakan yang inkonsisten pada managemen PT KAI. Di satu sisi menjadikan stasiun sebagai area atau wahana Kawasan Tanpa Rokok (KTR), tapi di sisi lain mempromosikan/mengiklankan produk rokok di area KTR,” ungkapnya.
Ketiga, terkait hal itu (poin ke-2), PT KAI dinilai telah melanggar UU Kesehatan, PP No. 109/2012, berbagai Perda/Pergub/Perwali tentang KTR. Bahwa area KTR (stasiun) dilarang sebagai tempat promosi/iklan/sponsorship produk rokok.
Keempat, lanjutnya, alasan yang disampaikan managemen PT KAI bahwa iklan rokok di stasiun harus berizin Pemda, adalah alasan sesat pikir.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Ini menunjukkan managemen PT KAI tidak paham regulasi, atau pura-pura tidak paham, atau sengaja melanggar regulasi. Bahwa tanggung jawab iklan rokok di area/bangunan stasiun adalah mutlak pihak stasiun,” ujarnya.
Kelima, maraknya iklan rokok di stasiun ini menjadikan stasiun sebagai area yang tidak ramah untuk anak-anak, bahkan remaja.
“Jelas bahwa anak-anak dan remaja harus dijauhkan dari produk dan promosi rokok. Tetapi stasiun sebagai area publik yang banyak dikunjungi anak-anak justru bertebaran iklan rokok.
Patut diduga maraknya iklan rokok di stasiun melanggar UU tentang Perlindungan Anak. UU tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa zat adiktif (rokok) harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak,” ujar Tulus.*