Syam, dulunya pusat peradaban Islam dan tanah yang diberakhi dengan penduduknya, namun diuji penindasan terorganisir dan sistematis oleh asing maupun antek-anteknya dari dalam
Hidayatullah.com | TULISAN sebelumnya membahas kemuliaan penduduk Syam sebagaimana janji Al-Quran dan hadist Nabi, namun mengapa ujian dan ujian berat diterima dengan sabar? Inilah kisah lanjutan dari tulisan “Syam dalam Kenanangan: Kisah Keindahan yang Tak Terlupakan”.
***
SURIAH bagi saya adalah dua alam: Satu, alam cahaya yang didoakan Rasulullah ﷺ. Dua, alam bayangan yang dibuat manusia-manusia dzalim.
Namun cahaya itu tak pernah padam. Bahkan di bawah langit kelam, ia tetap menyala — dalam dada orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dan barangkali, memang seperti itulah seharusnya kita hidup. Sebagaimana penduduk Syam yang oleh Nabi dikatakan;
اللهم بارك لنا في شامنا
“Ya Allah, berkahilah kami di negeri Syam.”
Sejarah Panjang Syam
Suriah dahulu bagian dari satu kesatuan dunia Islam di bawah naungan Daulah Utsmaniyah. Kekhalifahan ini berpusat di Istanbul dan memerintah selama hampir 600 tahun.
Namun, di akhir masa kekuasaannya, kekhalifahan mulai melemah. Salah satu penyebab utamanya, menurut sejarawan Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi, adalah tumpulnya penerapan hukum syariah—tajam ke bawah, tumpul ke atas, terutama terhadap keluarga sultan.
Kelemahan ini diperparah dengan bergesernya ketergantungan ekonomi ke sistem perbankan Yahudi di Eropa. Hal ini menjadi ladang subur bagi Inggris dan Prancis untuk menyusupkan operasi intelijen dan hasutan, dan adu domba seperti ungkapan; “Kalian keturunan Rasulullah, kok mau dipimpin oleh orang Turki yang bahkan tidak bisa bahasa Arab?”
Puncaknya adalah Revolusi Arab, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Utsmaniyah di kawasan Syam. Lewat Perjanjian Sykes-Picot (1916), wilayah-wilayah Islam dibagi oleh para penjajah seperti kue: Suriah dan Lebanon jatuh ke tangan Prancis, Palestina dan Yordania ke Inggris.
Hal ini sebagaimana hadis Nabi ﷺ, “Suatu saat nanti kalian akan dikelilingi oleh musuh-musuh, seakan-akan kalian ini hidangan.” (HR. Abu Dawud)
Diskriminasi Terorganisir
Seolah sengaja menghilangkan istilah Syam, dimunculkan istilah “Timur Tengah” yang selama ini kita pakai.
Tentu saja uiniu bukan berasal dari kita. Itu cara pandang kolonial, yang memetakan dunia berdasarkan jarak yang dipandang dari kacamata Barat.
Mereka menyebut kita “Timur Jauh”, dan Syam disebut “Timur Tengah”.
Padahal Baginda Nabi menyebut istilah lebih indah bahwa wilayah ini sebagai “Negeri Para Nabi”, sebagaimana Allah menyebutnya langsung — “tanah yang diberkahi”. “Kami berkahi sekelilingnya…” (QS. Al-Isra: 1).
Ketika Prancis menjajah Suriah, mereka mengangkat etnis minoritas seperti Alawiyah untuk menjadi mitra kolonialisme. Mereka diberi akses pendidikan, ekonomi, dan militer.
Dan Ketika Suriah merdeka (1949), kaum Alawiyah sudah lebih siap secara infrastruktur kekuasaan. Hingga akhirnya, Hafez al-Assad memastikan bahwa kekuasaan harus tetap di tangan mereka.
“Semua boleh, kecuali berkuasa di politik. Semua boleh, kecuali berkuasa di ekonomi. Semua boleh, kecuali berkuasa di militer. Tiga titik strategis itu enggak boleh sampai Muslimin Ahlusunah wal Jamaah berkuasa.”
Di pemerintahan, posisi penting seperti direktur kementerian hanya untuk kalangan Alawiyah. Di militer, bahkan shalat dianggap haram. Sementara dalam urusan agama, posisi mufti pernah diisi oleh Badruddin Hasun, tokoh kontroversial yang membuat pernyataan-pernyataan liberal dan memuji tentara rezim Assad sebagai mujahid.
Mayoritas tapi diperlakukan Minoritas
Bahkan di level warga biasa, Muslim Sunni merasakan ketidakadilan. Dalam birokrasi, jika tidak memiliki kenalan dari kelompok Alawiyah, berbagai urusan menjadi sulit. Mereka, meskipun mayoritas, dianggap warga kelas dua:
“Muslimin Ahlusunah wal Jamaah itu meskipun mayoritas adalah warga negara kelas dua. Itu sudah makruf.”
Prancis mengangkat etnis-etnis minoritas untuk menjadi mitra kolonialisme. Mirip seperti Belanda di Indonesia yang mengistimewakan etnis tertentu, Prancis memberikan akses pendidikan dan ekonomi kepada kelompok minoritas seperti Nusairiyah (Alawiyah). Mereka diangkat ke posisi strategis, masuk ke akademi militer, dan memperoleh fasilitas finansial. Sementara mayoritas Muslim Sunni dipinggirkan dan dibiarkan dalam kondisi lemah.
Saat Suriah merdeka dari Prancis pada 1949, kelompok minoritas ini sudah memegang semua modal kekuasaan. Hingga akhirnya pada 1973, Hafez al-Assad—dari kelompok Alawiyah—mengunci kekuasaan sepenuhnya dan memastikan bahwa hanya kelompoknya yang bisa memimpin negeri.
Sejak itu, Muslim Sunni hanya “boleh bernapas” di bidang pendidikan agama: membangun madrasah, tahfiz, pesantren. Namun, mereka dilarang keras menguasai tiga hal strategis: politik, ekonomi, dan militer. “Semua boleh, kecuali berkuasa.”
Diskriminasi tidak hanya terjadi di level atas, tetapi juga dalam kehidupan warga biasa. Di pemerintahan, semua posisi penting—seperti direktur di Kementerian Dalam Negeri—hanya bisa diisi oleh orang Alawiyah, meskipun mereka minoritas. Di militer pun demikian, bahkan disebutkan bahwa dalam tentara Suriah: “Shalat itu haram.”
Di sisi agama, mufti negara kala itu, Badruddin Hasun, dikenal sangat kontroversial. Ia pernah menyambut delegasi rabi Yahudi dan membuat pernyataan yang menyudutkan Nabi Muhammad ﷺ, hanya untuk menunjukkan “toleransi berlebihan”.
Ia juga menyebut tentara yang membunuh warga dalam demonstrasi sebagai “mujahid dan syahid”.
Sebagai warga asing di Suriah, seseorang harus memperbarui izin tinggal setiap tahun. Proses ini lebih mudah jika ada kenalan dari kalangan Alawiyah. Namun, jika melalui jalur resmi yang melibatkan orang Sunni, justru sering dipersulit.
“Muslim Ahlusunnah wal Jamaah adalah mayoritas, tapi hanya dianggap warga negara kelas dua. Sudah makruf begitu keadaannya.”
Penduduk Syam diuji karena Syam mampu. Dan itu membuat saya mencintai negeri ini bukan karena indahnya bangunan, tapi karena keindahan jiwa penghuninya.
Namun kini, posisi mufti telah dipegang oleh ulama yang lebih dihormati. “Sekarang alhamdulillah muftinya SyeiIkh Usama Rifai. Mudah-mudahan The Sungkars bisa wawancara langsung sama beliau.”
Namun sebagaimana sejarah membuktikan, umat yang tertindas akan selalu punya peluang untuk bangkit—asal mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.*/Diceritakan Dzikrullah, yang pernah tinggal di Suriah dan mengunjungi negeri itu setelah jatuhnya Bashar al-Assad. Artikel diambil dari podcast The Sungkar