Hidayatullah.com– Tekad Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperjuangkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Ulama, Tokoh Agama dan Simbol Agama-Agama pada periode 2019-2024 mendatang dilandasi sejumlah alasan.
Pertama, kata Presiden PKS, Mohamad Sohibul Iman, ulama dan tokoh agama adalah figur yang berjasa besar dalam memerdekakan bangsa Indonesia dan ikut serta dalam merumuskan dasar-dasar kehidupan bangsa dan negara.
Perjalanan bangsa Indonesia mencatat dengan tinta emas perjuangan para ulama dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.
“Kita masih ingat bagaimana pendiri Nahdlatul Ulama Hadratus Syeikh KH .Hasyim Asyari memimpin Resolusi Jihad melawan penjajah di kota Pahlawan Surabaya. Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, adalah kisah-kisah kepahlawan para ulama yang berjuang melawan penjajahan dan ketidakadilan,” jelasnya pada acara peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam di kantor pusat DPP PKS, Jakarta, Ahad (13/01/2019).
Selain itu, sebutnya mencontohkan, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang ikut memerdekakan bangsa Indonesia. Kebangkitan nasional ditandai pertama kali dengan lahirnya Sarikat Dagang Islam yang menjadi cikal bakal Sarikat Islam yang didirikan oleh seorang Ulama yakni H.O.S Cokroaminoto.
Para perumus dasar-dasar negara Indonesia juga tidak lepas dari campur tangan para ulama, seperti Haji Agus Salim, KH Wachid Hasyim, Mohamad Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kasman Singodimejo.
“Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah para ulama dan tokoh agama mendapat perlindungan dari segala bentuk ancaman fisik, non-fisik dan segala bentuk kriminalisasi hukum ketika berjuang mendakwahkan ajaran dan tuntunan agama di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Sohibul.
Baca: PKS akan Perjuangkan RUU Perlindungan Ulama, Tokoh dan Simbol Agama
Alasan kedua, ulama dan tokoh agama berhak dilindungi kebebasannya dalam menyampaikan ajaran dan keyakinannya kepada umatnya.
“Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945). Karena itu hukum harus ditegakkan dan tidak boleh ada perlakuan yang merugikan dan mengancam hak dan kebebasan orang lain. Dalam konstitusi juga sudah diatur bahwa; (1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama yang diyakininya; (2) Setiap orang berhak meyakini kepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikapnya sesuai hati nuraninya; (3) Dan setiap orang berhak berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat dan keyakinannya (Pasal 28E, ayat 1- 3 UUD NRI Tahun 1945),” paparnya.
Dan tentu, tambahnya, diatur khusus dalam Pasal 29 tentang Kehidupan Beragama yakni; (1) Negara Berketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
Selain itu, masih kata Sohibul, misi dakwah ulama dan tokoh agama sesuai dan sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 31 ayat 3 yang mengamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan generasi yang beriman dan bertakwa dan berakhlak mulia.
Baca: Capres-Cawapres, PKS akan Perjuangkan Aspirasi Ulama dan Umat
Alasan ketiga, terang PKS, ulama dan tokoh agama adalah figur yang paling rentan mendapatkan ancaman baik fisik, non-fisik maupun kriminalisasi oleh penegak hukum akibat dakwah yang mereka sampaikan.
“Meskipun ulama dan tokoh agama adalah figur yang memiliki kedudukan yang terhormat di mata masyarakat, namun demikian sosoknya rentan mendapatkan ancaman fisik, non-fisik maupun upaya kriminalisasi hukum terhadapnya,” ujarnya.
Hal itu kata dia disebabkan karena intensitas ulama dan tokoh agama bertemu masyarakat sangat sering dan dalam menyampaikan dakwah dan ajarannya memiliki potensi perbedaan antara satu pihak dengan pihak-pihak lainnya.
“Hal ini terkadang menyebabkan ulama dan tokoh agama mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dan mengancam mereka saat mereka menjalankan misi dakwah dan pengajarannya di tengah-tengah masyarakat,” imbuhnya.
Ia pun menyebut beberapa contoh terjadinya persekusi terhadap para ulama dalam upaya menyampaikan dakwahnya.
Yaitu, pengadangan dan persekusi kepada Ustadz Abdul Somad (UAS) di Semarang (Juli 2018) dan di Bali (Desember 2017); pengadangan terhadap Ketua Umum DPP FPI Ustadz Shabri Lubis di Pontianak, Kalimantan Barat (Mei 2018); Ka Ops Brigade PP Persis Jawa Barat Ustadz Prawoto mengalami penganiayaan hingga yang bersangkutan meninggal dunia (01 Februari 2018); penganiayaan terhadap KH Umar Basri Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Bandung. Penganiayaan terjadi usai shalat Subuh dari Masjid (31 Januari 2018); dan kriminalisasi hukum terhadap Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
Baca: PKS: Penegak Hukum Jangan Bermain Politik dan Hentikan Kriminalisasi Ulama
Alasan keempat, tambah Sohibul, simbol agama-agama adalah sesuatu yang sangat dihormati dan dimuliakan dalam ajaran masing-masing agama.
Ia menjelaskan, simbol agama adalah identitas yang dimuliakan di masing-masing agama. Jika ada upaya perusakan atau penghinaan terhadapnya, akan memicu konflik dan keributan di tengah-tengah masyarakat.
“Masih segar dalam ingatan kita bersama bahwa ada praktik pembakaran terhadap bendera yang bertuliskan kalimat tauhid di Garut, Jawa Barat. Hal ini menyulut api kemarahan umat Islam sehingga berpotensi terjadinya konflik yang lebih besar,” ungkapnya.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap simbol agama-agama dinilai sebuah langkah yang tepat untuk mencegah terjadinya konflik horizontal antara pemeluk agama atau madzab dalam agama tersebut.
“Selain itu, antar pemeluk agama akan semakin lebih menghormati dan saling menjaga satu sama lain, sehingga keharmonisan antar pemeluk agama yang satu dengan yang lain akan semakin baik ke depannya,” ujarnya.
“Kami memohon doa dan dukungannya agar PKS mampu meraih kemenangan di pemilu dan pilpres tahun 2019 sehingga mampu mewujudkan janji-janji politiknya. InsyAllah,” harap Sohibul.*