Hidayatullah.com– Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Yunahar Ilyas menanggapi pemecatan dosen bercadar IAIN Bukittinggi, Hayati Syafri.
Menghadapi risiko bagi orang yang teguh mempertahankan prinsip, kata Yunahar, adalah hal yang biasa.
Ia menyarankan Hayati untuk menguji perkara ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Sebaiknya banding untuk menguji apakah keputusan Menag sudah benar,” ujarnya kepada hidayatullah.com semalam, Ahad (24/02/2019).
Sebelumnya, dosen bercadar IAIN Bukittingi di Sumatera Barat, Hayati Syafri, tidak menyangka Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memecat dirinya.
Ia dipecat karena dianggap melanggar disiplin tidak masuk kerja tanpa keterangan yang sah selama 67 hari kerja. Perbuatannya ini dianggap melanggar ketentuan Pasal 3 angka 11 dan angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
Surat pemecatan yang diteken Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta pada tanggal 18/02/2019, diterima Hayati pada Rabu (20/02/2019) lalu.
Dosen bahasa Inggris ini merasa aneh dan didzalimi. Ia yakin tidak salah.
Memang diakuinya selama 67 hari kerja tidak masuk kampus. Tapi itu karena ia melanjutkan S3 di Universitas Negeri Padang (UNP) pada tahun 2014-2017. Dan kuliah S3-nya ini sudah diizinkan oleh IAIN Bukittinggi.
“Otomatis ketika saya kuliah ke Padang, tentu saja saya tidak akan bisa stand by di kampus IAIN Bukittinggi dari pagi sampai sore,” ujarnya kepada hidayatullah.com lewat sambungan telepon pada Sabtu (23/02/2019).
Baca: Kemenag Pecat Dosen Hayati di Sumbar, Bantah karena Cadar
Meskipun kuliah S3, tapi Hayati tetap melaksanakan kewajibannya sebagai dosen, yakni mengajar, melakukan penelitian, dan pengabdian masyarakat.
“Tugas sebagai dosen di kampus tetap saya laksanakan. Kalau jadwal kuliah, saya ngajar. Kalau jadwal tidak mengajar, saya kuliah ke Padang,” tuturnya. “Terbukti dengan laporan BKD (Beban Kerja Dosen) yang merupakan pertanggungjawaban seorang dosen setiap semester, tetap saya serahkan. Dan itu diterima oleh pihak kampus.”
Hayati menilai pemecatannya ini juga tebang pilih. Sebab, ungkapnya, ada dosen prodi lain yang juga tidak bisa hadir setiap hari di kampus karena melanjutkan kuliah S3 di luar.
“Kalau memang (pemecatan ini) karena kuliah meninggalkan jam kerja, mengapa cuma saya yang diberhentikan?” kata Hayati merasa diperlakukan tidak adil.
Menurutnya, pemecatan ini lebih karena ia bersikukuh mengenakan cadar pada waktu mengajar mahasiswanya.
Kementerian Agama, kata Hayati, hanya mengalihkan kasus cadar ke kasus pelanggaran disiplin. Seperti diketahui, Hayati dinonaktifkan sementara mengajar sepanjang tahun 2018 karena memakai cadar saat mengajar di kelas.
Atas pemecatannya ini, Hayati belum memutuskan akan banding dan lanjut ke PTUN atau tidak.
Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama membenarkan bahwa Hayati Syafri diberhentikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebelumnya, Hayati tercacat sebagai dosen Bahasa Inggris di IAIN Bukuttinggi, Sumatera Barat.
“Hayati Syafri diberhentikan sebagai ASN karena melanggar disiplin pegawai. Keputusan ini didasarkan pada rekam jejak kehadirannya secara elektronik melalui data finger print-nya di kepegawaian IAIN Bukittinggi,” terang Kasubbag Tata Usaha dan Humas Itjen Kementerian Agama, Nurul Badruttamam, di Jakarta, Sabtu (23/02/2019) dalam siaran pers Kemenag diterima hidayatullah.com.
“Berdasarkan hasil audit Itjen, ditemukan bukti valid bahwa selama tahun 2017 Hayati Syafri terbukti secara elektronik tidak masuk kerja selama 67 hari kerja,” sambungnya.
Kemenag membantah bahwa cadar yang digunakan Hayati sebagai penyebab Muslimah tersebut dipecat.* Andi
Baca: Ombudsman: Rektor IAIN Bukittinggi Belum Jalankan Tindakan Korektif