Hidayatullah.com–Teror yang terjadi di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru Baru (New Zealand) hari Jum’at (15/03/2019) yang menelan 50 korban bermotif rasa kebencian terhadap umat Islam.
“Masyarakat dunia dewasa kini dihadapkan dengan isu-isu yang kerap kali membenturkan antar agama satu dengan lainnya. Misalnya upaya memunculkan stigma bahwa agamalah pemicu sikap radikalisme, dengan beragama seolah-olah tidak lagi memiliki rasa aman, karena telah terkontaminasi sikap radikal, “ demikian disampaikan Wakil Rektor I UNIDA Gontor, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A., M.Phil, dalam ceramah usai shalat Magrib di Masjid Jami’ UNIDA Gontor, Ponorogo, belum lama ini.
Peristiwa yang sama terjadi di India. Bagaimana beberapa kampung umat Islam dibakar oleh orang-orang Hindu. Termasuk yang terjadi pada orang-orang Muslim Rohingnya.
“Seolah-olah semua di dunia ini diadu domba, yang kemudian menimbulkan sebuah stigma bahwa agama menjadi musuh bersama, dengan wajah yang tergambar sebagai teroris fundamentalis, “tambah penulis buku Misykat ini.
Jadi problem sebenarnya bukan antar Muslim dan Kristen, akan tetapi problemnya yang ingin dimunculkan oleh kelompok tersebut adalah; agama menimbulkan sikap radikal dan terorisme, agar semua agama di anggap salah.
Lebih lanjut, Hamid mengutip sebuah buku yang berjudul “Is Religion Killing Us?”, bagaimana penulis buku menjelaskan bahwa semua kitab suci agama Yahudi, Nasrani dan Islam diperintahkan untuk saling membunuh.
Padahal konteks yang di maksud tentu bukan seperti itu. Misalnya, dalam Islam itu ada sebuah perintah قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dalam Surat At-Taubah 29).
Seharusnya ayat di atas dipahami konteksnya, dan tidak dipahami secara sepenggal-sepenggal. Sebab kondisi di atas terjadi adalah jika berada pada situasi perang.
“Kata qootiluu dalam bahasa Arab juga tidak selalu berarti “bunuhlah”, tapi juga dapat bermakna “perangilah”. Konteks “perangi” juga tidak boleh diartikan di luar konteksnya, pemaknaannya juga perlu disesuaikan dengan kondisi perang dengan kondisi tidak perang. Tapi sebagian orang memahaminya sebagai tindakan kekerasan (radikal).”
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini juga mengutip teorinya Samuel Huntington dalam bukunya “Clash of Civilizations”, dikatakan bahwa yang menjadi target dunia adalah Islam.
Karena semua fanatisme kebangsaan, ras dan nasionalisme juga telah berakhir dengan adanya globalisasi, tetapi sebagai pengganti nasionalisme adalah fanatisme keagamaan yang saling dibenturkan sehingga menimbulkan konflik peradaban (Clash of Civilizations).
“Maka agama yang saling dibenturkan menimbulkan sebuah sikap radikal yang mereka sebut sebagai terorisme. Sebetulnya tidak ada dalam agama pemahaman yang demikian, akan tetapi negara-negara besar, kemudian media-media ikut mempelopori paham-paham terorisme untuk menebar bahwa agama adalah memicu radikal. Pada akhirnya agama menjadi bulan-bulanannya para aktivis sekuler, dengan menganggap bahwa agama ini berengsek,” tambahnya.
Sekarang ini zaman telah berganti, sekarang sudah zamannya relativisme di era modernisme dengan mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang hakiki, tidak boleh lagi berpikir absolutis, semunya relativif. Paham relativisme, dimana di Barat sendiri orang tidak lagi mencari kebenaran, akan tetapi mempertanyakan kebenaran. Makanya banyak sekali keyakinan yang kini dipersoalkan, tambahnya.
Baca: Kampanye Homoseksualitas: Antara Toleransi dan Relativisme
Ia mencontohkan, kata iman saja maknanya diubah oleh orang-orang positivisme. Agar paham relativisme diterima oleh semua orang di dunia, maka dibentuklah stigma adanya radikal dalam bentuk terorisme.
“Maka Islam akan terus dipojokkan, disudutkan dengan paham-paham radikal. Agama lain juga sama, diprovokasi sehingga muncul stigma bahwa agama dianggap salah. Ketika agama dianggap salah, maka lebih baik tidak beragama. Bahkan kita diharuskan menerima kepercayaan atau hal apapun yang menyimpang dengan dalil kita ini semua sama (humanisme), kebenaran tidak lagi ditentukan oleh oma hukum agama, kemanusiaanlah yang menjadi penentu didalam masyarakat. Inilah pemahaman yang diinginkan oleh orang-orang atheis.”
Inilah adalah drama dunia, dimana umat akan dihadapkan dengan pembenturan agama, dengan isu-isu radikalisme, terorisme dan toleransi, katanya.
Karena itu, alumni University of Birmingham, Inggris ini mengingatkan para mahasiswa tentang bahaya pemikiran dan paham liberal.*